Sekolah St Santo Aloysius ajarkan membatik hingga dijahit di rumah


Festival Batik
Bandung.merdeka.com - Pencatatan rekor di Museum Rekor Indonesia (Muri) yang diraih Sekolah St Santo Aloysius Bandung tidak lepas dari para guru batik yang mengajarkan mata pelajaran membatik para siswanya.
Koordinator guru batik Sekolah St Santo Aloysius, Rano Sumarno, mengungkapkan upaya pencatatan rekor melalui proses yang panjang selama lima bulan dimulai di awal Agustus sampai Desember 2015.
"Proses membuat batik ikuti jadwal pelajaran setiap minggu selama 2 jam pelajaran," kata Rano, Senin (22/2).
Proses diawali dengan pemberian pelajaran tentang batik, baik batik tulis maupun batik cap. Murid kemudian diajak merancang cap, menyiapkan canting, belajar mencolet dan lainnya.
Kain yang dipakai adalah kain mori khusus untuk membatik yang didatangkan dari Jogjakarta. Anak SMA mendapat kain 2,5 meter, SMP 2 meter dan SD mendapat 1,5 meter.
Bentangan kain dibagi dua, bagian bawah khusus untuk menyalurkan ekaplorasi motif sesuai keinginan siswa. Sementara bagian atas khusus memakai motif bunga lili, bunga simbol Sekolah St Santo Aloysius. Posisi bunga lili yang mereka buat sesuai keinginan, ada yang vertical, miring, maupun horizontal.
"Kami, pengajar, hanya memberikan rancang sebagai pancingan saja. Sebagian besar motif dibuat para siswa," jelasnya seraya menambahkan satu kelas dibimbing oleh dua orang guru.
Mereka mempraktikkan membatik dengan cara batik tulis maupun cap. Setelah lima bulan melewati proses, batik-batik buatan para siswa melewati penilaian. Penilaian melibatkan kurator dari Institut Seni Yogyakarta. Penilaian pada saat berbentuk kain.
"Setelah dinilai, lalu dibawa pulang oleh masing-masing siswa untuk dijahit. Jadi di rumahnya, tiap siawa membawa batik hasil mereka ke tukang jahit," katanya.
Total ada 2.500 siswa yang mengikuti mata pelajaran batik. Pada praktiknya, masing-masing siswa bisa menghasilkan lebih dari satu batik. Sebab, siswa yang badannya kecil bisa menghasilkn dua kain batik.
Motif yang dibuat para siswa sangat beragam. Untuk menghindari kesamaan motif, sekolah membagi tema motif sesuai tingkatan. Siswa SMA menggambar motif nusantara seperti simbol-simbol Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Papua.
Siswa SMP mengembangkan motif Jawa, dan siswa SD mengembangkan motif mahluk hidup dan alam semesta.
Total bahan yang dipakai dalam proses ini kain mori 7.000 meter, canting 5.000 buah, lilin batik 1.000 kilogram, pewarna batik 100 kilogram, bahan pelorod 100 kilogram, minyak tanah 700 liter dan gas melon 250 tabung.
BERITA TERKAIT
Pengakuan Bharada E di Balik Perintah Tembak dari Atasan
Pengakuan Bharada E di Balik Perintah Tembak dari Atasan
5 Poin Rekomendasi Kebijakan Siap Diusulkan T20 dalam Forum G20
Alami Pengapuran Sendi Lutut? Coba Minum Susu Nutrisi
Perawatan Kulit Kian Diminati, BeautieSS Resmikan Satu Klinik Baru
Aswita Dewi Ingin Batik jadi Pakaian Kekinian
Amazit T-Rex 2 Jadi Jam Tangan Pintar Bagi Para Petualang
Aplikasi Jantungku Jadi Solusi Layanan Kesehatan Jantung, Ini 6 Fitur Unggulannya
Jejak Kopda Muslimin Sebelum Ditemukan Tewas di Rumah Orang Tua
Gleaneagles Hospital Punya Inovasi Teknologi Baru Bernama Gamma Knife
Kerry Indonesia Kembali Meraih Penghargaan HR Asia Awards 2022
Gandeng Aurel Hermansyah, CKL.LOOKS Akan Rilis Produk Eksklusif
Dukungan Orangtua Dalam Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi Pasca Pandemi
Tidak Pelit Ilmu, Hendra Hidayat Dikenal Sebagai Pionir Implan Gigi di Indonesia
Linde Indonesia Akan Pasok Gas Industri dengan Kemurnian Tinggi ke PT Freeport
KORIKA Gelar Webinar Kecerdasan Artifisial (AI) Bidang Kesehatan
Garmin Run Club Menjadi Wadah Bagi Para Pecinta Olahraga Lari
Jam Tangan Pintar yang Bisa Jadi Pilihan Para Pelari Karena Fitur Canggihnya
Alasan Mengapa Reinvestment Keuntungan Sangat Krusial Bagi Bisnis
EdenFarm Berbagi Hewan Kurban dengan Komunitas Tani di Sekitar ECF
Trademark Market Hadir Lagi, Kini Tenantnya Lebih Banyak