Pemerintah didesak teliti jumlah LGBT di Indonesia
Bandung.merdeka.com - Psikiater Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Teddy Hidayat, meminta pemerintah segera membuat penelitian untuk menghasilkan data LGBT di Indonesia. Pemerintah tidak bisa menutup mata, bahwa LGBT hidup di negeri ini dengan jumlah yang bisa jadi meningkat.
Adanya data penelitian akan memudahkan pemerintah melakukan identifikasi, memfasilitasi kebutuhan mereka dan mengantisipasi masalah yang dihadapi mereka. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari masyarakat.
"LGBT bukan isu baru di kita, sejak dulu sudah ada. Di Amerika Serikat, juga di Indonesia. Sekarang ramai isu ini, itu karena kita tak peduli. Sehingga ketika LGBT terus bertambah, kita jadi terkaget-kaget," kata Teddy di RSHS Bandung, Jumat (19/2).
"Jadi LGBT bukan isu baru, cuman kitanya saja baru nyadar," terang mantan Kepala Psikiater RSHS Bandung ini.
Ia mengungkapkan di Amerika Serikat, jumlah LGBT sekitar 10 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan di Indonesia, angka tersebut tidak pernah diteliti. Sehingga tidak tahu berapa prevalensi LGBT di Indonesia.
Akibat tidak adanya data atau prevalensi, respon terhadap LGBT menjadi spontan atau meraba-raba. Kadang dicampuradukkan dengan agama atau kultur.
"Kenapa di kita tidak ada penelitiannya padahal LGBT-nya ada, ahli yang menelitinya ada, dananya juga ada. Mungkin kita takut melihat potret diri kita sendiri," katanya.
Pentingnya penelitian untuk mengetahui prevalensi LGBT, kata dia, pemerintah akan mudah melakukan tindakan. Misalnya untuk melakukan pembinaan atau konseling terhadap orang-orang LGBT sebagaimana yang sudah dilakukan pada orang yang hidup dengan Aids (Odha).
Dengan begitu, kata dia, LGBT bisa terlayani termasuk bidang kesehatannya. Teddy mengungkapkan, berdasarkan data WHO, 10 tahun mendatang di Indonesia kasus penyebaran virus HIV/Aids akan tinggi terjadi pada kelompok LGBT.
Teddy yang juga lama menjadi Kepala Program Terapi Rumatan Metadon Jawa Barat berharap, pemerintah dan pihak akademisi atau rumah sakit bersinergi. Pemerintah memiliki modal dan kekuatan, sementara akademisi memiliki kemampuan riset.
Jika pemerintah dan akademisi bersatu menghadapi LGBT, maka ke depan tidak akan terkaget-kaget lagi menghadapi isu LGBT.
Sebab, kata dia, dengan mengantongi data hasil penelitian, akan diketahui jumlahnya, bagaimana di sekolah-sekolah, apa yang harus dilakukan dan seterusnya. "Kami sudah lama ngomong soal ini, tapi tak didengar. Mudah-mudahan lewat media massa, pemerintah bisa mendengar," katanya.
Ia menambahkan, karena tidak adanya data hasil penelitian Indonesia belum memiliki program khusus menangani LGBT. Di pemerintah daerah pun tidak ada yang memiliki program khusus tersebut. "Mestinya skala Pemda bisa melakukan (penelitian), ahlinya punya, dananya juga punya," ujarnya.