Atasi kemacetan di Kota Bandung adalah tugas mahaberat
Bandung.merdeka.com - Kemacetan di Kota Bandung, Jawa Barat, sudah sangat kronis. Mengatasi kemacetan di kota ini merupakan tugas mahaberat yang menjadi tantangan Pemerintah Kota Bandung saat ini.
"Lebar jalan Kota Bandung sudah tidak bertambah, ini tugas mahaberat karena harus tingkatkan kinerja. Jakarta saja dengan APBD Rp 40 Triliun sampai sekarang tak beres-beres," kata pakar transportasi ITB, Ofyar Zainuddin Tamin, dalam talkshow 'Menanti Laju Kadishub Baru' di PR FM, Bandung, Jumat (12/2).
Ia mengidentifikasi tiga penyebab kemacetan di Kota Bandung. Pertama, idealnya 10 sampe 30 persen luas kota harusnya menjadi jalan kendaraan. Namun lebar jalan di Kota Bandung saat ini tidak lebih dari 4 persen saja.
Untuk mencapai 10 persen perlu pelebaran jalan. Untuk melebarkan jalan itu Pemkot Bandung akan menghadapi biaya pembebasan lahan yang tinggi.
Pelebaran lahan juga harus disertai dengan penambahan area parkir baru. Sebab dari 4 persen lahan yang dipakai jalan di Kota Bandung tidak semuanya murni dipakai lalulintas.
"Dari 4 persen jalan yang ada, efektifnya hanya 1,5 persen (yang dipakai jalan), sisanya dipakai parkir," sebut Guru Besar Kelompok Keahlian Transportasi Program Studi Teknik Sipil ITB ini.
Maka tugas pertama Pemkot Bandung sebelum mampu mencapai 10 sampai 30 persen luas jalan, harus menggenapkan angka 1,5 persen menjadi efektif 4 persen. "Untuk mencapai luasan tersebut, perlu kinerja luar bisa yang didukung kebijakan Pemkot Bandung," katanya.
Meski banyak jalan yang dipakai parkir, namun ia yakin tidak semua ongkos parkir menjadi retribusi. Ia menghitung, sekitar Rp 600 Milyar per tahun kerugian Pemkot Bandung akibat dana parkir tidak terserap. "Saya minta ke Wali Kota Ridwan Kamil untuk membebaskan jalan dari parkir," katanya.
Masalah kedua, kata dia, adalah masih banyak wilayah di Kota Bandung tidak terlayani angkutan umum. "Tujuh puluh persen wilayah Kota Bandung tidak terlayani angkot, yang terlayani hanya 30 persen," katanya.
Padahal, kata dia, transportasi publik minimal harus mencapai 80 sampai 90 persen wilayah sebuah kota. "Adanya ojek itu manifestasi dari ketidakmampuan pemerintah mengelola transportasi publik," katanya.
Pemkot Bandung sebenarnya sudah memiliki alat dan sistem transortasi, tinggal dijalankan saja. "Harus ada political will dan sikap dari pemerintah," ujarnya.
Ia menambahkan, membebaskan jalan dari parkir liar bukan berarti memberangus para tukang parkir. Tetapi para tukang parkir tersebut ditempatkan di tempat kerja lain, sehingga mereka tetap memiliki penghasilan.
Masalah ketiga, sambung dia, adalah masalah non-teknis terkait dengan prilaku transportasi masyarakat. Menurut dia, mengatasi masalah non-teknis ini paling berat.
"Enam puluh persen masalah nonteknis ini ketidakdisiplinan, mulai dari perilaku angkot, perilaku pengguna, dan lain-lain. Disiplin berlalulintas harus diperbaiki dengan memperbaiki marka jalan, rambu-rambu dan lainnya," katanya.