Membedah kisah 'benturan' NU dan PKI dalam peristiwa 1965
Bandung.merdeka.com - Setiap bangsa memiliki sejarah kelam, termasuk Indonesia yang mengalami peristiwa 1965. Peristiwa itu hendaknya dipandang secara utuh, minimal dari berbagai sisi. Sebab peristiwa tersebut memiliki latar belakang panjang yang terjadi sebelum peristiwa tersebut meletus.
Penulis buku Benturan NU-PKI, Abdul Munim, yang juga Wakil Sekretaris PBNU, mengatakan peristiwa 1965 memiliki latar belakang sangat kompleks dan melibatkan banyak sekali aktor.
Namun, kata dia, dewasa ini muncul wacana bahwa yang dikorbankan dalam peristiwa 1965 adalah PKI. Padahal jika dirujuk ke belakang, PKI justru menjadi aktor yang menimbulkan korban dari berbagai pihak.
"Sebenarnya saya tak perlu menulis buku karena masalah yang terjadi di masa lalu sudah selesai. Tapi banyak pihak kemudian menganggap belum selesai, mereka menuliskannya dalam buku. Inti buku-buku tersebut kurang lengkap. Aktor yang disebutkan hanya dua, yaitu TNI dan NU, sedangkan PKI menjadi korbannya," kata Abdul Munim, dalam diskusi Bedah Buku Benturan NU-PKI di Kampus UIN Bandung, Selasa (26/01).
Maka melalui penulisan buku Benturan NU-PKI, ia ingin meluruskan bahwa banyak sekali pihak yang terlibat dalam rangkaian peristiwa 65. Disebut rangkaian peristiwa 65, kata dia, karena peristiwa tersebut terjadi dari serangkaian gejolak politik dan sosial yang dimulai pasca-kemerdekaan.
Menurut dia, peristiwa 65 bukanlah peristiwa tunggal tanpa latar belakang. Dalam rangkaian itu, banyak sekali pihak yang berperan yaitu PKI, TNI, NU, Masyumi dan banyak sekali cabangnya, Muhammadiyah, partai-partai nasionalis dan sosialis, Murba.
Aktor-aktor tersebut, kata Abdul Munim, terlibat suatu pertempuran besar dan saling berebut kekuasaan yang puncaknya adalah peristiwa 65. "Korban terbesar ada di pihak PKI karena waktu itu PKI menjadi musuh bersama," katanya.
Menurut dia, PKI menjadi musuh bersama karena menganut paham kiri radikal. PKI menjalankan program agitasi dan propaganda. Mereka memobilisasi kaum tani, buruh, anak muda. PKI juga disebut sebagai partai yang sering melancarkan serangan kepada kelompok agama.
Wakil Ketua Komnas HAM yang juga antropolog, Dianto Bachriadi, mengatakan buku Benturan NU-PKI merupakan karya sejarah. Namun sayang buku tersebut ditulis kurang ilmiah. Sebab, tidak menggunakan sumber atau referensi yang sudah lebih dulu hadir.
"Seharusnya buku ini mau mengambil referensi lain sebagai data pembanding. Jadinya buku hanya menampilkan perspektif NU," katanya.
Mengenai peristiwa 65 sendiri, ia sepakat bukan peristiwa tunggal. Rangkaiannya sudah terjadi sejak 1945. Waktu itu Indonesia baru mengalami kemerdekaan dan euforia. Di masa itu semua pihak ingin mengambil peran dan bagian dalam menentukan arah bangsa.
"Bagi saya aktvitas demokrasi masa itu tidak memakai etika demokrasi. Terjadi saling pukul dan saling serang dalam menghadapi perbedaan. Padahal perbedaan dalam demokrasi biasa. Demokrasi tempat suburnya perbedaan," katanya.