Mengenal tanda-tanda alzheimer pada anggota keluarga

user
Muhammad Hasits 14 Desember 2015, 15:00 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Orangtua sering kali disebut cerewet, mengulang-ngulang cerita masa lalu, mudah lupa atau pikun. Gejala ini bagi anggota keluarga sering dipandang biasa. Padahal, bisa jadi gejala tersebut sebagai tanda penyakit demensia.

Dokter spesialis syaraf RS Borromeus, Yustiani Dikot, mengatakan dimensia merupakan kumpulan gejala yang menimbulkan gangguan kognitif yaitu memori, atensi, memori, bahasa/komunikasi hingga perilaku atau kepribadian.

Gangguan tersebut, sambung dia, membuat pasien tidak bisa melakukan aktivitas pribadi dan mandiri. Demensia terdiri dari beberapa jenis peyakit, di antarnaya yang terbanyak adalah alzaimer yang diprediksi menyerang 60-70 persen manula yang ada di Indonesia. Alzheimer merupakan penyakit degeneratif atau kemunduran fungsi otak seiring bertambahnya usia. Alzheimer juga didorong faktor genetik.

Dimensia biasa menyerang secara bertahap pada orang dengan usia di atas 45 tahun, dan puncaknya biasa menyerang pada orang dengan usia di atas 60 tahun. “Kalau sudah 80 tahun diperkirakan satu dari tiga orang usia 80 tahun itu Alzheimer,” sebut Yustiani, kepada Merdeka Bandung.

Penyakit dimensia kedua terbanyak adalah demensia vaskuler yang disebabkan gangguan darah di otak. Ini terjadi karena hipertensi atau stroke. Dimensia lainnya terjadi karena parkinsen dan lain-lain.

Dengan demikian, orangtua yang cerewet, mengulang-ngulang cerita masa lalu dan pikun, bisa jadi terkena penyakit demensia. “Pikun ini harus dicari sebabnya apakah masuk ke dalam Alzheimer atau demensia vaskuler. Tentu harus diobati, kalau tidak bisa makin berat kondisinya,” katanya.

Tanda-tanda Alzheimer dan demensia vaskuler pada orang tua di antaranya mulai sering lupa manaruh barang, lupa jalan pulang, curigaan. Keluarga yang menghadapi orangtua dengan gejala tersebut, kadang kurang perhatian, jengkel karena sering ditanya berulang-ulang.

Gejala tersebut bisa diketahui demensia jika dilakukan pemeriksaan secara medis. Baik Alzheimer maupun demensia vaskuler belum ada obatnya. “Tapi kalau diperiksa sejak dini bisa dicegah progresinya (pertumbuhan penyakitnya),” jelasnya.

Indonesia memang dikenal memiliki sifat kekeluargaan. Namun, sifat kekeluargaan bisa-bisa luntur saat menghadapi orangtua yang terkena demensia, apalagi harus merawatnya selama bertahun-tahun. Banyak perilaku pasien demensia yang di luar pemahaman manusia normal, misalnya pipis di mana saja, tidak bisa memakai baju, tidak mandi, dan seterusnya.

Penangan terhadap orangtua yang demensia memerlukan waktu dan tenaga ekstra. “Jadi caranya harus harus terdeteksi saat awal. Kalau dibiarkan dampaknya akan besar, baik bagi pasien maupun bagi yang merawatnya. Tapi kalau diobatin pasien minimal bisa mandiri,” katanya.

Penanganan terhadap pasien demensia tidak hanya medis, tetapi ada faktor non-medis yang berperan penting. “Karena bukan hanya obat yang mengobati. Dengan dibawa berobat, pasien merasa diperhatikan,” terangnya.

Perhatian keluarga sangat penting dalam mengelola penyakit demensia. Keluarga harus mengaja pasien terus berkomunikasi. Keluarga harus sabar meski orang tuanya cerewet.

“Karena walau memori terganggu tapi harga dirinya masih ada. Itu yang menimbulkan pasien menarik diri. Ia tersinggung jika tidak diajak komunikasi. Jadi perhatian keluarga akan memperbaiki kondisi pasien,” terangnya.

Perhatian tersebut, lanjut dia, akan searah dengan pengobatan farmakologis. “Jadi selain diobati, pasien diperhatikan, dilatih cara memakai baju, mandi, dan perhatian itu lebih bermanfaat dari obat,” katanya.

Selain itu, pasien dijaga agar terus berperilaku aktif misalnya menjalankan hobi, sebab hobi baik bagi fungsi otaknya, menjalin komunikasi dengan orang lain atau sosialisasi. “Makanan pasien juga harus dijaga, hindari makanan yang banyak mengandung lemak seperti makanan cepat saji. Menghindari faktor risiko seperti rokok, alkohol, dan stres,” tambahnya.

Kredit

Bagikan