Masalah Gizi Masyarakat Asia Disorot, Terutama soal Obesitas

user
Endang Saputra 11 Juni 2019, 17:06 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Masalah gizi masih menjadi persoalan yang terjadi di wilayah Asia. Salah satunya yakni obesitas. Di sejumlah negara Asia terjadi peningkatan kasus obesitas pada masyarakat.

Hal itu terungkap dalam laporan bertajuk 'Food for Thought-Eating Better' yang dirilis bersama Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan ini berdasarkan hasil penelitian sistem pangan Asia yang digelar EIU pada Oktober 2017. Dalam penelitian ini sebanyak 400 orang menjadi responden. Mereka adalah pemimpin bisnis di industri makanan Asia seperti China, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Dalam laporannya, Cargill mengatakan terjadi enam megatren dalam perkembangan gizi di Asia, kususnya terkait perubahan diet. Enam megatren itu mencakup kualitas bukan kuantitas (quality not quantity); urbanisasi dan pendapatan (urbanisation and income). Kemudian obesitas dan nutrisi mikro (obesity and micro nutrients); hasil yang menimpang (diverging outcomes); kesadaran gizi yang rendah (low nutritional awareness), serta iklan dan media sosial (advertising and social media).

Menurut dia, peningkatan urbanisasi dan pendapatan berimbas terhadap belanja konsumen, salah satunya makanan. Seperti mendorong pertumbuhan gerai makanan cepat saji dan supermarket.

"Ini juga diyakini mendorong gaya hidup masyarakat menjadi kurang bergerak dan mengonsumsi makanan yang lebih enak," ucap dia dalam keterangan tertulisnya.

Cargill mengungkapkan, terjadi peningkatan kasus obesitas pada masyarakat di sejumlah negara Asia seperti di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Pakistan. Hal ini disebabkan meningkatnya konsumsi minuman manis dan makanan olahan.

"Di sisi lain, urbanisasi ternyata memiliki korelasi langsung dengan obesitas. Pasalnya, selama migrasi ke kota, diet cenderung tidak lagi dilakukan sekaligus mengonfirmasikan terjadinya perubahan nutrisi, ketika pindah ke daerah perkotaan," ucapnya.

Terkait kualitas bukan kuantitas, terjadi peralihan kebutuhan 'makanan lebih' menjadi 'makanan lebih baik'. Diprediksi akan menjadi prinsip hingga beberapa tahun ke depan.

Dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa terjadi peningkatan dalam pendapatan per kapita dan grafik asupan kalori menunjukkan, pertumbuhan signifikan dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Dengan sebagian besar negara mengonsumsi lebih dari 2.500 kalori per kapita setiap hari. Sementara di sisi lain, sektor makanan kemasan Asia juga telah mengalami pertumbuhan empat persen pada 2017.

Meningkatnya ketidaksetaraan di Asia berdampak terhadap perkembangan gizi yang tidak merata di Asia. Kekurangan gizi menjadi keprihatinan yang signifikan. Bahkan, ketika obesitas tumbuh.

Tingkat pendidikan dan melek huruf yang lebih rendah di kalangan ibu, juga memengaruhi status gizi. Demikian pula dengan tingkat kemiskinan. Hal ini tercermin dari kelebihan berat badan dan obesitas yang meningkat di antara segmen masyarakat miskin dan tinggal di perkotaan.

Tak hanya itu, media sosial dan periklanan turut memengaruhi tren makanan. Keduanya menjadi komunikasi utama antara konsumen dan pemangku kepentingan dalam industri makanan. Media sosial memberikan peluang industri makanan sekaligus memacu upaya memantau dan mengatur konsumen.

Untuk itu, sejumlah negara di Asia menghambat intensitas iklan makanan dengan regulasi baru. Seperti yang dilakukan Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Beberapa jenis iklan dilarang dan dibatasi.

"Singapura dan Filipina mengalami peningkatkan terbesar dalam mengadopsi pelabelan GDA sejak 2012. Sementara Malaysia dan Thailand, di empat besar untuk tingkat adopsi," ujarnya.

Untuk itu lanjut Cargill pemerintah dianjurkan lebih fokus terhadap kebijakan makanan dengan harga terjangkau dan berkualitas. Perlu kebijakan kesehatan dan gizi yang bervariasi. Mulai dari advokasi dan tindakan bersama, dibandingkan mengandalkan efek menetes ke bawah dari pertumbuhan ekonomi.

Kredit

Bagikan