Mengenal Teknik Batik Gutta Tamarind Pengganti Lilin Yang Ramah Anak
Bandung.merdeka.com - Mengajak anak untuk mencintai proses pembuatan batik, Komunitas 22 Ibu menciptakan teknik pembatikan menggunakan gutta tamarind. Ini merupakan sebuah eksplorasi dan eksperimen alternatif pengganti bahan dasar lilin dalam teknik membantik tradisional.
Teknik ini secara konsisten digunakan oleh Komunitas 22 Ibu. Seperti dalam pameran ‘The Myth Story of Nusantara With Gutta Tamarind Batik’ yang berlangsung hingga Kamis (10/1) mendatang. Membantik dengan gutta tamarind dilakukan untuk melestarikan batik dan memperkenalkan alternatif lain selain lilin.
"Teknik batik gutta tamarind ini sangat aman untuk anak-anak karena sifatnya yang dingin. Dibuatnya dari biji asam yang diolah dengan teknik sangat sederhana. Ini dibuat sebagai alternatif pengganti lilin," ujar Kurator pameran ‘The Myth Story of Nusantara With Gutta Tamarind Batik’, Nuning Yanti Damayanti kepada Merdeka Bandung, Minggu (6/1).
Dalam hal ini, dilakukan pemanfaatan tepung biji asam atau lebih dikenal dengan nama tamarind diolah secara sederhana menjadi Gutta sebagai pengganti lilin, malam, atau wax yang fungsinya merintangi warna pada kain.
Perintang adalah pembatas atau outline pada kain sebagai media batik, yang fungsinya merintangi atau membatasi antar warna, antar bidang dan memperjelas bentuk pada objek gambar atau motif yang dibuat. Dengan Gutta Tamarind tehnik membatik menjadi lebih sederhana akan tetapi menjadi tehnik yang lebih modern.
"Teknik ini dapat dikatakan lebih modern karena ada perbedaan tahapan prosesnya dengan pembuatan batik tradisional, yang menggunakan malam, lilin, atau wax panas dan cair sebagai bahan perintang warnanya. Teknik gutta tamarind tidak mempergunakan canting alat untuk menorehkan perintang pada kain dan juga tidak harus ada proses plorod," jelasnya.
Tepung biji asam atau tamarind diolah dan dicampur dengan bahan margarin atau lemak nabati dan air hangat hingga menjadi larutan berupa gel pasta atau gutta, kemudian gel pasta gutta dituliskankan pada permukaan kain seperti juga malam, lilin, atau wax yang berfungsi sebagai perintang warna pada proses batik tradisional.
"Proses lebih sederhana, karena tidak melewati proses lorod, begitu pula dalam pewarnaan yang hanya membutuhkan proses pengukusan selama satu jam, agar warna menyerap pada kain," tuturnya.
Teknik membuat batik dengan tepung biji asam atau gutta perlu dikembangkan dengan tujuan agar proses membuat batik yang selama ini dianggap teknik sulit, dapat dilakukan dengan teknik dasar yang lebih sederhana, tanpa menghilangkan esensi dari batik itu sendiri, diharapkan teknik ini dapat dipelajari dengan mudah oleh siapapun yang tertarik, bahkan untuk anak usia dini.
Keistimewaan lain juga gutta tamarind adalah bahan dasar yang tidak berbahaya sehingga sangat aman sesuai dengan konsep Go-green masa kini.
Sementara itu, ia menjelaskan bahwa bibit tepung biji asam (Tamarindus Indica), diduga berasal dari Sabana Afrika dan Sudan, persebarannya ke Indonesia dimungkinkan melalui jalur perekonomian dan perdagangan dengan India. Pohon asam ternyata tanaman yang dapat tumbuh subur di wilayah tropis, sehingga berkembang baik diseluruh kepulauan Indonesia.
Nama yang dikenal kemudian adalah Asam Jawa pada awalnya sebagai bahan penguat rasa pada masakan, namun kini berdasarkan hasil berbagai penelitian pada asam jawa dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk beragam fungsi diantaranya kosmetik, ekstrak penguat rasa, makanan, manisan dan bahkan menjadi sumber cadangan energi.
Gutta Tamarind adalah perintang warna pada kain menjadi outline atau garis pada media batik, yang fungsinya akan membatasi antar warna agar tidak tercampur antara bidang warna dan memperjelas bentuk pada objek gambar atau motif. Perintang (gutta) jika tanpa campuran warna, akan menghasilkan warna atau jejak putih pada karya batik yang dihasilkan.
Apabila diberi warna, maka akan memberikan jejak sesuai warna yang ditambahkan pada pasta perintang. Aplikasi gel tamarind sebagai perintang dilakukan pada kain yang telah dibentang pada spanram dan setelah sketsa gambar dibuat kemudian diberi perintang pada sepanjang garis sketsa.
Perintang yang mengering menandakan bahwa tahap pewarnaan dapat dilakukan, dan cairan warna tidak akan rembes ke area yang diberi perintang. Setelah gutta mengering dapat diaplikasikan warna sesuai dengan konsep karya.
Proses finishing selanjutnya adalah pengukusan,pencucian dan pengeringan kemudian dirapihkan dengan cara disetrika, tahap terakhir presentasi karya dengan pembingkaian atau strategi lainnya.