Mayoritas pengidap HIV/AIDS di Jawa Barat berusia 20 hingga 29 tahun

user
Endang Saputra 04 November 2018, 13:00 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Sebagai provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia membuat Jawa Barat mengalami permasalahan HIV/AIDS. Soalnya, tercatat 41,92 persen pengidap HIV/AIDS merupakan kelompok usia muda yakni 20 hingga 29 tahun.

Plt. Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Riza Putra mengatakan, dari data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 menyatakan bahwa angka kumulatif dari tahun 1989 sampai dengan 2017 jumlah orang yang terinfeksi HIV sebesar 32.210 kasus dan AIDS sebesar 9.217 kasus.

"Mirisnya, jumlah kasus baru atas HIV/AIDS ini sebanyak 73 persen terjadi pada usia 20 hingga 34 tahun," ujar Riza kepada Merdeka Bandung saat ditemui dalam acara pertemuan ilmiah ‘Assessment and Management High Risk Behavior’ di Rumah Sakit Melinda 2, Sabtu (3/11).

Menurut data, 41,92 persen pengidap HIV/AIDS merupakan kelompok usia 20 hingga 29 tahun dan 37,57 persen berusia 30 hingga 39 tahun. Jika dilihat dari kelompok risiko, kelompok hetero seksual merupakan faktor risiko terbesar dengan 46 persen berisiko tertular HIV, pengguna Napza suntik dengan 36,40 persen biseks dan homoseksual dengan 9,9 persen, perinatal atau anak 4 persen, dan tidak diketahui 3,3 persen.

"Penemuan ini menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai peringkat ke empat terbesar kasus HIV di Indonesia, setelah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Papua. Sedangkan untuk kasus AIDS nya Jawa Barat menempatu peringkat ke enam stelah Jawa Timur, Papua, DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Tengah," jelasnya.

Data Klinik HIV/AIDS menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir penularan HIV telah bergeser dari penggunaan jarum suntik ke hubungan seksual berisiko yang pencegahannya jauh lebih sulit dan rumit.

Mengendalikan infeksi HIV/AIDS di masyarakat tidak mungkin akan berhasil bila tidak dilakukan menyeluruh dan terintegrasi mulai dari promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi secara benar dan terukur sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk promosi dan prevensi yang terpenting adalah fokus mencegah dan merubah perilaku remaja yang berisiko tinggi.

Perilaku berisiko adalah perilaku yang menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan untuk tertular HIV. Asesmen perilaku berisiko dapat dilakukan dengan menggunakan skrining dan inventory atau imaging otak atau elektro ensephalografi.

"Dengan adanya permasalahan tersebut, upaya komprehensif yang harus dilakukan adalah menciptakan lingkungan yang kondusif dengan melakukan kolaborasi program pencegahan terhadap ancaman HIV, narkoba, kekerasan, dan radikalisme pada kelompok usia 15 hingga 25 tahun," katanya.

Kredit

Bagikan