Antisipasi kasus penipuan calon jamaah umrah, Kemenag bentuk Satgas Pengawasan
Bandung.merdeka.com - Mencuatnya kasus-kasus penipuan calon jamaah umrah membuat Kementrian Agama (Kemenag) terus berbenah diri. Tak ingin kejadian tersebut kembali terulang, Kemenag akan membentuk tim khusus untuk mengawasi pelaksanaan ibadah umrah biro penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU).
Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Kemenag RI, Prof Nizar Ali mengatakan, bahwa Kemenag akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan dan Pengendalian Penyelenggaraan Umroh (PPPU). Satgas ini nantinya akan bekerjasama dengan berbagai lembaga seperti kepolisian, OJK, YLKI, imigrasi dan instansi lainnya.
"Jadi satgas ini akan melibatkan berbagai pihak instansi misalnya Bareskrim, OJK, Kementerian Hukum dan HAM, YLKI. Jadi kalau dia bermasalah di investasi wilayahnya OJK. Kemudian ada dari Bareskrim untuk menindak jika ada unsur pidana dan juga Kemenkumham untuk urusan imigrasi," ujar Nizar kepada wartawan di sela acara seminar bertajuk 'Menuju Pengelolaan Umroh yang Sistemik dan Berkualitas dan Antisipasi Pemberlakuan E-Umroh' di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Sabtu (29/9).
Nizar mengungkapkan, Satgas ini rencananya akan dibentuk pada tahun 2019 mendatang. Untuk langkah awal Satgas ini nantinya akan ada di beberapa daerah dengan jamaah umrah paling besar di Indonesia.
"Kita bentuk Satgas ini target awal di delapan kota besar di antaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Makasar, Semarang, Padang, Medan, Banjarmasin. Itu titik-titik wilayah yang besar (jamaah umrahnya)," katanya.
Nizar menyebut pembentukan Satgas ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi adanya biro-biro umrah nakal. Sehingga kasus penipuan calon jamaah umrah tidak lagi terulang.
"Satgas ini nanti tugasnya akan memantau sekaligus melakukan deteksi dini kalau ada biro travel yang menanfatakan dana dari masyarakat tapi digunakan untuk kepentingan investasi (pribadi) atau aspek penipuan. Bisa juga dia menawarkan (paket umrah) tapi (jamaah) belum diberangkatkan," ucapnya.
Tak hanya lewat Satgas, lebih lanjut Nizar mengatakan, Kemenag sendiri juga melakukan upaya pengawasan PPIU secara digital melalui Sipatuh (Sistem Pengawasan Terpadu Umrah dan haji) . Namun unuk sistem ini sendiri sudah berjalan sejak 2017 lalu.
Melalui Sipatuh yang dapat diakses lewat laman website ini, calon jamaah dapat memantau secara langsung semua informasi tentang perjalanan umrah. Mulai dari identitas biro travel, jadwal penerbangan, hingga hotel.
"Jadi jamaah bisa memantau langsung itu semua ketika sudah mendaftar. Itu bisa diketahui oleh calon jamaah. Kita juga bisa kontrol dari operasional room Kemenag. Jadi ada tiga langkah mudah untuk memastikan umroh. Pertama buka laman Sipatuh.Kemenag.go.id. Kedua cantumkan nomor pasti umroh dan pinnya di web. Ketiga, cek apakah ada warna kuning atau merah. Kalau kuning artinya masih dalam proses, sedangkan warna merah belum diproses.Kalau hijau sudah selesai diproses," ungkapnya.
Seperti diketahui sejumlah kasus penipuan biro travel umrah banyak mencuat seperti Abu Tours Travel dan First Travel. Dalam kasus Abu Tours Travel ini setidaknya ada 86.720 orang mengaku sebagai korban dengan nilai kerugian calon jemaah Rp 1,8 triliun. Begitu juga dengan kasus penipuan calon jemaah umrah First Travel.
Jumlah korban travel First Travel sebanyak 63.310 orang dengan total kerugian Rp 905,33 miliar. Selain itu juga sempat memcuat kasus PT SBL dimana ada 12.845 pendaftar calon jemaah umrah yang belum diberangkatkan,. PT SBL diduga memegang uang dari pendaftar yang belum diberangkatkan sebanyak Rp 300 miliar.
Hati-hati paket umrah murah
Ketua Komisi VIII DPR RI M. Ali Taher mengingatkan kepada masyarakat untuk berhati-hati terhadap biro travel umrah yang mengiming-ngimingi memberikan harga murah. Terutama dengan dalih memberikan potongan harga atau diskon. Menurut Ali, masyarakat harus waspada apalagi jika harga paket umrah yang ditawarkan berada di bawah biaya standar penyelenggaraan umrah sesuai yang telah ditetapkan Kementrian Agama (Kemenag) yakni sebesar Rp 20 juta.
"Sekarang ini juga kita sudah menemukan siasat pengusaha (biro umrah) nakal itu. Harga standar itu Rp 20 juta, tetapi mereka nanti main di diskon. Jadi hati hati nih, mereka akan main di diskon. Itulah yang nanti akan meruntuhkan lagi jumlah harga murah sehingga mengimingi jamaah untuk daftar ke perusahaannya. Ini yang perlu kita antisipasi karena Saya sudah mendengar itu," ujar Ali kepada wartawan di sela acara seminar bertajuk 'Menuju Pengelolaan Umroh yang Sistemik dan Berkualitas dan Antisipasi Pemberlakuan E-Umroh' di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Sabtu (29/9
Ali menilai, banyaknya kasus yang mencuat terkait penipuan yang dilakukan biro umrah nakal, karena Kemenag dinilai tidak terlalu siap sejak awal untuk bisa melakukan penegakan hukum terhadap perusahan-perusahan yang melakukan wanprestasi.
"Sehingga setiap perusahaan itu mengambil jalan pintas untuk melakukan aktivitas bisnisnya itu tidak sesuai dengan kaidah hukum maupun kaidah kaidah agama," katanya.
Selain itu, dia juga menyoroti soal lemahnya pengawasan dari Kementrian Agama terhadap penyelenggara umroh di berbagai daerah. Termasuk informasi mengenai jumlah harga yang minimal pun tidak dipantau oleh Kemenag.
"Maka DPR selalu mendesak pemerintah agar memberikan standar harga minimum adanya travel umroh itu supaya ada kepastian dan juga jangka waktu," ucapnya.
Faktor lainnya lanjut Ali yakni sumber daya manusia yang mengelola umroh itu sendiri masih yang banyak belum paham terkait regulasi. Menurutnya, SDM di tubuh Kemenag harus paham betul aspek hukum yang dimiliki oleh Arab Saudi maupun regulasi di tanah air.
"Banyak teman teman di kementrian itu yang tidak memahami aspek regulasi dari pemerintah Arab Saudi menyangkut masalah aspek-aspek bisnisnya. Yang dipahami kan lebih banyak aspek ibadahnya tapi aspek bisnisnya itu tidak dipahami. Aspek bisninya ini kan mempertemukan produsen dengan konsumen, antara perusahaan penerbangan, antara perusahaan penyedia layanan akomodasi konsumsi. Tidak ada kerjasama sama sekali sehingga inisiatif-inisiatif oleh pengusaha nakal terjadi dimana-mana, maka lahirlah seperti Abu Travel, First Travel. Itu kan betul betul tidak ada pengawasan. Walaupun sudah diingatkan berkali kali tetapi penegakan itu yang tidak terjadi," paparnya
Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan sebuah regulasi yang mengatur tentang pelaksanan umrah. Dengan adanya regulasi diharapkan tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti Abi Tours maupun First Travel.
"DPR akhirnya menemukan solusinya bahwa harus ada Peraturan Menteri Agama yang mengatur hal itu. Maka telah lahir dan insyallah tinggal pelaksanaan di lapangan kita pantau terus dari waktu ke waktu supaya tidak terjadi lagi perusahaan-perusahaan bodong yang memberangkatkan jamaah dengan harga murah. Nanti Saya raker dengan menteri agama yang akan datang saya akan peringatkan kembali terutana bulab oktober ini kan sudag mulai dibuka pendaftaran umroh setelah haji berakhir," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Seminar, Ade Gunawan mengatakan lewat seminar ini, perusahaan yang bergerak di sektor pelayanan jasa travel umroh dapat semakin memahmi tentang layanan yang sesuai dengan standar operasional, serta manajemen yang baik sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah Indonesia.
“Dengan demikian, keselarasan antara standar operasional prosedur perusahaan dengan kegiatan yang dikerjakan atau dilaksanakan di lapangan dapat searah. Soalnya, hal ini sangat berpengaruh terhadap kepuasan pengguna jasa travel haji dan umroh,” katanya
Seminar yang digagas Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) ini juga meresmikan program MDI yang bekerja sama dengan sejumlah Travel untuk membuat pilot project melalui program Lembaga Pengembangan Manajemen Umroh haji (LPMUH). LPMUH ini akan dimulai dijalankan pada musim umroh tahun 2018 atau 1440 Hijriah ini.
Dalam acara tersebut juga hadir Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag, Prof Dr Nizar Ali; Ketua Umum DPP Majelis Dakwah Islamiyah, Dr Deding Ishak, serta pemilik grup perhotelan di Saudi Arabia, Manazeel Al-Mukhtara, Mr Sami Marzooq Alharbi.