Pemerintah harus perjelas peraturan daerah soal kawasan tanpa rokok
Bandung.merdeka.com - Pemerintah Provinsi memilki peran strategis untuk memastikan proses pembuatan kebijakan di daerah yang telah mengikuti peraturan dan perundang-undangan dan sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan inklusif. Hal itu berlaku untuk peraturan daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Saat ini, banyak aturan KTR eksesif yang tertuang dalam peraturan daerah, termasuk terkait tempat khusus merokok. Aturan ini bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012. Secara hierarki hukum, peraturan pemerintah berada di atas peraturan daerah.
Maka itu, peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah. Hal itu terungkap dalam “Media Diskusi Kawasan Tanpa Asap Rokok: Menyoal Kawasan Tanpa Rokok, Mengatur dan Bukan Menyingkirkan” yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Selasa (31/7) kemarin.
Diskusi ini dihadiri Anggota DPRD Jawa Barat Gatot Tjahyono, pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Budi Rajab, dengan moderator jurnalis Adi Marsiela.
Budi Rajab menyoroti rokok dari aspek budaya atau sosial. Menurutnya, rokok menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Dalam sebatang rokok, ada proses yang panjang yang dimulai dari petani tembakau, industri rokok, buruh pabrik rokok, pedagang, dan akrihnya sampai pada konsumen.
Sehingga tidak heran dengan munculnya aturan tentang rokok, akan menimbulkan tantangan di masyarakat, karena berkaitan dengan budaya itu sendiri, khususnya petani tembakau dan industri rokok itu sendiri. Petani tembakau di Indonesia sanagat besar jumlahnya, misalnya di Jabar seperti Sumedang, Garut, kemudian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lainnya.
Dengan ketersediaan sumber daya alam itu, tak heran jika orang Indonesia masuk dalam kategori mayarakat perokok berat. Tembakau ditanam para petani yang secara sisiologis mereka mirip dengan petani padi yang hidupnya pas-pasan. Kehidupan mereka tertumpu pada penghasilan bertani tembakau.
"Bila larangan merokok ini ketat, banyak yang akan kena dampak dengan peraturan itu. Karena tembakau produk yang bertingkat, dari petani ke industri, di situ ada tenaga kerja atau buruh," kata Budi Rajab dari keterangan tertulis diterima Merdeka Bandung, Selasa (31/7).
Menurutnya, aturan tentang rokok di Indonesia terbilang baru. Di Indonesia sendiri tak pernah ada larangan perihal merokok.
"Di Indonesia dari dulu tak pernah ada larangan merokok. Orang tua kita tak secara langsung melarang anaknya merokok. Kalaupun ada, larangannya bukan bersifat negatif atau biologois seperti penyakit, tapi mereka melarang karena anaknya belum kerja dan belum punya uang sendiri, hanya sebatas itu," tuturnya.
Beda dengan di Eropa di mana merokok diatur secara ketat dan dikaitkan dengan masalah kesehatan atau biologi, bahwa merokok dapat menyebabkan penyakit yang mematikan.
"Di kita secara antropologi tidak seperti itu. Bahkan di kita ada istilah uang rokok untuk orang yang membantu," kata dia.
Baru pada pertengahan 80-an di Indonesia muncul persoalan politis terhadap rokok, terutama dari kalangan agama. Di masyarakat mulim, setidaknya ada dua pandangan terhadap rokok, yakni makruh dan mubah. Dua hukum ini berpengaruh pada masyarakat perokok.
Selanjutnya, pertentangan pada rokok masuk ke ranah eksekutif sampai muncul kebijakan atau aturan. Hal ini juga mengurangi jumlah perokok meski angkanya tidak signifikan.
Namun Budi melihat peraturan Kawasan Tanpa Rokok yang ada di daerah bersifat tidak jelas, begitu juga soal siapa pemberi sanksi dan jenis sanksinya. Selain itu, aturan Kawasan Tanpa Rokok cenderung merembet ke industri sampai petani tembakau.
Beda dengan di luar negeri, di mana peraturan diterapkan khusus pada penjualan. Misalnya, tidak boleh menjual kepada orang yang belum mencapai umur 18 tahun.
"Di sadan pemilik rokok sadar tidak akan memberi rokok pada anak yang belum berusia 18 tahun. Jadi ada kesadaran penjual rokok, bukan pada anaknya. Atau kalau beli alkohol, harus dalam umur sekian. Penjualnya yang diatur, bukan pada peminumnya. Di kita semua selalu diatur dengan perda, padahal perda itu harus fokus," ungkapnya.
Penerapan peraturan juga perlu dilakukan secara bertahap. Peraturan yang tidak bertahap akan memberatkan masyarakat, sehingga cenderung terjadi pelanggaran. Selain itu, jika dalam aturan ada kawasan tanpa rokok maka perlu juga diatur kawasan perokok.
Budi mengaku di kampusnya banyak kawasan tanpa rokok, tapi sebagai perokok, ia mengaku harus membikin sendiri kawasan merokok, karena peraturan yang cenderung terututup.
"Peraturan di kita tertutup, misalnya aturan merokok dan tidak merokok tidak jelas," kata dia.
Peraturan yang bersifat tertutup membuat terbatasnya jumlah eksekutor atau pemberi sanksi. Misalnya, jumlah personel kepolisian atau Satpol PP tentu terbatas dalam menindak semua pelanggaran di masyarakat. Berbeda dengan di negara lain, di mana masyarakat diberi kewenangan untuk melakukan sanksi. Contohnya pedagang yang bisa dengan tegas tidak melayani pembeli rokok yang belum cukup umur.
Sementara itu, anggota DPRD Jabar Gatot Tjahyono mengatakan, pemerintah tentu sudah melakukan kajian untuk melahirkan PP 109/2012 perihal rokok. Aturan ini prinsipnya bukan melarang merokok, melainkan pengaturan terhadap rokok. Contohnya, pengaturan tentang kawasan untuk merokok dan kawasan tanpa rokok.
"Dalam konteks peraturan daerah, mengacu pada peraturan yang lebih tinggi, misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, undang-undang. Harus mengacu sehingga menjadi satu kesatuan," ujar Gatot.
Gatot mengaku tidak membidangi komisi yang terkait rokok. Namun secara umum, pembuatan peraturan daerah ialah mengacu pada aturan yang lebih tinggi. Pemerintah Provinsi Jabar sendiri belum mengatur soal rokok, yang ada adalah di kabupaten atau kota.
Sedangkan munculnya perda yang merupakan turunan dari aturan yang lebih tinggi (PP/UU), bisa muncul dari eksekutif maupun usulan DPRD. Bisa juga perda tersebut diusulkan berdasarkan pertimbangan masyarakat luas, akademisi, asosiasi dan seterusnya.
Namun Gatot sepakat jika masalah rokok ini sebaiknya disikapi dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat, tanpa harus melalui perda.
"Hal seperti ini jadi contoh bukan soal perda atau aturan tapi bagaimana kesadaran masyarakat. Terlalu banyak perda yang dihanguskan Menteri Dalam Negeri karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya," kata dia.
Menurutnya, perda yang dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya terutama perda yang menimbulkan gejolak di masyarakat, menimbulkan biaya tinggi, mengganggu pada perizinan. Ia menyatakan, tidak menutup kemungkinan perda Kawasan tanpa rokok bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini akan dipantau Menteri Dalam Negeri.
"Sekarang ini trennya pemerintah justru mengurangi perda dan perizinan. Tren lainnya kita lebih mengedepankan pola hidup sehat, kesehatan mahal, dan lain-lain yang menumbuhkan kesadaran," katanya.