Pemkot Bandung klaim warganya sangat bahagia
Bandung.merdeka.com - Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang) Kota Bandung telah merilis hasil survei Indeks Kebahagiaan yang dilakukan bersama Laboratorium Quality Control Departemen Statistika Universitas Padjadjaran.
Hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa Indeks Kebahagiaan Kota Bandung tahun 2017 sebesar 73,42 (sangat bahagia). Angka tersebut naik 0,15 dari tahun 2016.
Pengukuran kebahagiaan yang dilaksanakan dalam survei ini dilakukan menggunakan Model Dinamis Kebahagiaan yang dikembangkan oleh The New Economics Foundation (NEF 2008) yang dimodifikasi menurut konteks kekinian oleh tim survei dengan pendekatan psychological wellbeing.
Responden pada survei ini adalah kepala rumah tangga atau pasangannya. Namun berbeda dengan tahun sebelumnya, tahun ini segmentasi responden ditambah dengan kategori remaja dan keluarga miskin. Penyajian data pun disegmentasi berdasarkan kategori tersebut.
Ada 10 variabel esensial yang digunakan dalam survei ini. Kesepuluh variabel tersebut adalah pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan. Bobot tiap variable itu dihitung secara proporsional berdasarkan data dengan teknik Analisis Faktor.
Berdasarkan hasil survei, segmentasi kepala keluarga/pasangan memiliki Indeks Kebahagiaan sebesar 73,43 (sangat bahagia), remaja 75,11 (sangat bahagia), dan kepala keluarga/pasangan warga miskin sebesar 68,58 (bahagia).
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan bahwa hasil survei itu merupakan cara Kota Bandung untuk melaksanakan pembangunan yang tepat sasaran. Ia ingin agar program-program pemerintah dijalankan berdasarkan data ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Indeks Kebahagiaan kata Emil merupakan standar baru dalam mengukur kemajuan pembangunan. Saat ini, Kota Bandung memang sedang berupaya mengetengahkan program pembangunan yang seimbang antara fisik dan mental.
"Kami sedang mencari pembangunan berbasis mental manusia itu harus dibikin apa. Karena tidak bisa dipukul rata," ujar pria berkacamata tersebut.
Ia mencontohkan, program akan berbeda berdasarkan kelompok usia atau berdasarkan besaran penghasilan. Program kepada warga miskin akan berbeda dengan program untuk menengah ke atas. Ia juga perlu membedakan program berdasarkan wilayah.
"Tadi kan ketahuan Antapani paling bahagia. Yang paling tidak bahagia Andir. Jadi kesimpulan itulah yang dibutuhkan untuk membuat rekayasa pembangunan," katanya.
Kendati begitu, Ridwan tidak menampik bahwa metode ini masih perlu disempurnakan. Dengan demikian, hasil yang didapat akan lebih bisa akurat untuk dijadikan sebagai tolok ukur pembangunan. "Karena ini teori baru yang tidak ada dalam mainstream yang lain, maka pasti belum sempurna," katanya.