Pameran karya 'Lelakiku', cerita tentang lelaki di mata wanita

user
Mohammad Taufik 28 Desember 2016, 10:54 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Kata siapa tugas wanita hanya di dapur, membersihkan rumah dan mengurus keluarga? Wanita juga bisa berkarya. Lelaki menjadi inspirasinya, siapapun itu. Baik suami, anak, ataupun temannya. Lewat pameran bertajuk 'Lelakiku', wanita berkarya secara bebas. Merepresentasikan lelaki yang ada di benaknya dalam sebuah karya.

Kurator pameran 'Lelakiku', Hardiman, menjabarkan kelelakian, kejantanan atau virilitas dalam sejumlah budaya segera terhubung dengan phallus yang dimaknai sebagai pusat dari semua fantasi kolektif kekuatan penyuburan.

Realitas ini lebih dekat dengan karakter mitos yang bagaimanapun menyimpan suatu ambiguitas struktural pada sejumlah simbol yang terkait dengan kesuburan. Begitulah definisi sosial produk dari sebuah konstruksi. Konstruksi budaya laki-laki yang pada wilayah tertentu dirancang guna keuntungan kaum laki-laki.

"Kelelakian dalam kultur tradisional Indonesia dibangun lewat narasi mitologis semacam dongeng suci yang memosisikan laki-laki sebagai pusat segala energi. Itu sebabnya garis keturunan ayah misalnya, bukan sekadar tumbuh dalam wilayah adati yang bersifat horizontal, tetapi diyakini pula sebagai kebenaran vertikal," papar Hardiman, Rabu (28/12).

Dalam banyak kebudayaan kita, garis keturunan ayah terefleksikan melalui bahasa, nama keluarga, waris, bahkan asal-asul genealogis. Realitas kultural ini meski hanya sebuah konstruksi, pada praktiknya telah melahirkan dan melanggengkan dominasi maskulin.

Lihat misalnya bagaimana epos Ramayana, Mahabharata, Tantri, legenda, dan serupanya dalam budaya Sunda, Jawa dan Bali secara menerus diproduksi dengan tetap memperlihatkan keberpihakannya pada kerajaan laki-laki.

"Dalam kebudayaan kontemporer, apresiasi terhadap kelelakian diwujudkan dalam bentuk pemujaan terhadap tubuh jantan oleh kaum laki-laki, juga oleh perempuan. Lihat misalnya bagaimana budaya pemeliharaan tubuh itu hadir melalui pintu wacana tentang tubuh yang sehat. Pemaknaan tubuh sehat itu praktiknya seringkali dikaitkan dengan kemudahan dan keindahan tubuh," ujarnya.

Intinya tetap berpusat pada pelanggengan kuasa laki-laki. Tetapi, pertanyaan muncul: apakah kelelakian sekadar konstruksi budaya yang bentuk dan fungsinya bisa berubah-ubah, bahkan bisa dilenyapkan oleh konstruksi budaya yang lain? Dewasa ini wacana tentang perempuan dan 'keperempuanannya' sedang hangat mengemuka.

Ada kesan yang segera dapat terbaca bahwa perempuan dengan semangat feminismenya telah dan sedang memposisikan kesejajaran dengan kaum lelaki. Bahkan pada posisi ekstrem tertentu, perempuan memposisikan diri sebagai yang di depan dan di atas.

Pameran ini, dia melanjutkan, diniatkan guna mengeksplorasi tanggapan perempuan perupa anggota Komunitas 22 Ibu perihal kelelakian di lingkungan terdekatnya; ayah, suami, kakak/adik laki-laki, atau anak laki-laki yang ada dalam wilayah patriarki. Sejumlah karya secara terbuka dan berterus-terang memperlihatkan posisi perempuan kini di hadapan wilayah laki-laki, baik yang mempertanyakan, merumuskan ulang atau meredefinisi ihwal kuasa laki-laki itu.

Sejumlah karya lain, anteng mengamini, sembari mensyukuri kerajaan laki-laki adalah konstruksi budaya itu, yang diterimanya sebagai kemestian kultural. Ada juga karya lain yang dibungkus berbagai citra, simbol atau teks-teks lain secara tipis dan berlapis-lapis menyembunyikan keluasan makna.

Kredit

Bagikan