Lepaskan ketergantungan impor dengan konsorsium kartu pintar

user
Farah Fuadona 26 Oktober 2016, 11:24 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Ketua Dewan Pembina Konsorsium Smart Card Indonesia, Ashwin Sasongko Sastrosubroto mengatakan pengembangan kartu pintar atau smart card merupakan upaya ril untuk mendorong kemandirian teknologi di Indonesia. Dengan pengembangan kartu pintar yang dimulai di lingkungan perguruan tinggi, penggunaan teknologi impor sedikit demi sedikit dapat ditinggalkan.

Ini disampaikan Ashwin dalam Pameran, Seminar dan Workshop Rekomendasi Standard SmartCard Indonesia. Pamerannya sendiri sudah diselenggarakan sejak sehari sebelumnya di Aula Barat ITB. Menurutnya kalau semua produk yang dipakai berasal dari luar negeri, maka rakyat Indonesia akan terus bergantung kepada barang impor. “Jangan sampai Indonesia menjadi republik impor,” katanya dari rilis yang diterima Merdeka Bandung.

Konsorsium Smart Card Indonesia beranggotakan empat perguruan tinggi dan lima perusahaan. Keempat perguruan tinggi itu adalah Telkom University (Tel-U), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Hasanuddin (Unhas). Sedangkan lima perusahaan yang terlibat yaitu PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT Inti), PT Xirka Silicon Technology, PT Data Aksara Matra (PT DAM), PT Inti Bangun Sejahtera (IBS), dan PT Versatile.

Konsorsium ini didukung oleh Dewan Riset Nasional (DRN) dan mendapatkan pendanaan dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Menurut Aswin, kartu pintar dipilih karena alasan sederhana. Selain biayanya yang relatif murah, pengembangan kartu pintar sesuai dengan kemampuan yang sudah dimiliki anak bangsa.

“Seperti kita tahu, beberapa perguruan tinggi dan perusahaan sudah menciptakan smart card, bahkan semua anggota konsorsium ini sebelum bergabung sudah mengembangkan smart card di tempatnya masing-masing,” jelasnya.

Sekretaris Konsorsium Smart Card Indonesia, Helni Mutiarsih Jumhur mengatakan pengembangan kartu pintar ini juga merupakan role model dari kerja sama antara perguruan tinggi, industri dan pemerintah. Hasilnya nanti berupa kartu pintar yang akan diterapkan di seluruh perguruan tinggi anggota konsorsium.
 
“Selain itu pengembangan ini diharapkan bisa cepat menyatukan antara regulasi dengan perkembangan teknologi. Hasil riset menyebutkan, waktu yang diperlukan untuk mengembangkan teknologi rata-rata hanya tiga detik, sedangkan pembuatan undang-undang bisa memakan waktu bulanan bahkan tahunan,” katanya.

Menanggapi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menyatakan dukungannya. Menurut Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, I Gusti Putu Suryawirawan, potensi pasar kartu pintar di Indonesia sangat besar, namun sebagian besar masih bergantung pada impor.

“Saat ini, di dalam negeri, smart card telah tumbuh dan berkembang. Kementerian Perindustrian telah mencatat terdapat tujuh industri smart card yang memanfaatkan pasar dalam negeri dan ekspor dengan target pasar antara lain pemerintah, perbankan, perjalanan dan hiburan serta pasar operator telekomunikasi,” ujarnya dalam sambutan yang dibacakan oleh Direktur Industri Elektronika dan Informatika, Achmad Rodjih Almanshoer.

Salah satu masalah utama dalam pengembangan industri kartu pintar ini adalah disharmoni tarif. Berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BKTI) tahun 2012, tarif bea masuk produk jadi kartu pintar adalah 0 persen sedangkan untuk bahan baku pembuatannya dikenakan tarif sebesar 5-10 persen.

Menurut Suryawirawan, untuk mengatasi hal tersebut dan agar produk kartu pintar punya daya saing di negara sendiri, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian bersama dengan Kementerian Keuangan menerbitkan kebijakan dengan memberikan fasilitas insentif di bidang fiskal berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah dengan harapan dapat mengurangi biaya produksi yang pada akhirnya bisa membantu meningkatkan daya saing industri kartu pintar dalam negeri.


Kredit

Bagikan