Lestarikan pencak silat di AS, Rita harus patah kaki hingga tersesat

Oleh Farah Fuadona pada 21 April 2016, 10:42 WIB

Bandung.merdeka.com - Perguruan Pencak Silat Mande Muda di Amerika Serikat (AS) kini sudah semakin besar. Bahkan sudah membentangkan sayapnya hingga ke Eropa. Kondisi tersebut tidak lepas dari jasa kakak beradik Herman dan Rita Suwanda.
 
Sepeninggal Herman dalam kecelakaan mobil di Jerman pada 2000 silam, Rita Suwanda (52) harus melanjutkan tongkat estafet. Tidak mudah mempertahankan perguruan pencak silat Mande Muda yang sudah bercabang di 27 negara bagian AS itu.
 
Rita bercerita, setelah kakaknya meninggal. Lokasi pertama yang ia tuju adalah perguruan Mande Muda yang ada di Hawai. Kedatangannya “hanya” bermodalkan semangat dan niat melanjutkan Mande Muda.
 
Padahal selama ini, ia belum pernah ke luar negeri, apalagi AS. Ia asing dengan lingkungan dan budaya AS, juga tidak bisa Bahasa Inggris.
 
“Saya hanya bergelut belajar silat tradisional di Indonesia (Bandung). Dengan segala keterbatasan, saya harus berjuang minimal menjaga nama kakak saya,” kenang Rita, kepada wartawan di Bandung baru-baru ini.
 
Selain Hawai, pada awal kepemimpinannya banyak perguruan-perguruan Mande Muda yang harus ia datangi. Dalam prakteknya, ia sering tersesat hingga hilang di airport Amerika Serikat. Kendala bahasa juga membuatnya sering ketinggalan pesawat. “Selama bertahun-tahun saya begitu, menyedihkan,” ujarnya.
 
Tantangan lainnya, ia harus meyakinkan murid-murid Herman Suwanda yang kebanyakan warga negara AS, bahwa dirinya layak menjadi guru pencak silat. Meski ia dikenal adik Herman Suwanda, namun para murid perlu diyakinkan dengan skill-skill pencak silat sebagaimana sudah ditunjukkan Herman Suwanda almarhum.
 
Menghadapi masalah itu, Rita tidak banyak omong. Setiap akan memulai latihan, ia selalu meminta muridnya yang badannya paling tinggi besar untuk menyerangnya. Akibatnya, ia sering mengalami patah kaki akibat tertindih murid yang tinggi besar itu.
 
Sebagai guru, ia harus menahan gengsi termasuk rasa sakit. Di sela pertarungan, ia membetulkan sendiri kaki yang terkilir atau bengkok. “Mereka besar-besar, kadang kaki saya tertimpa badan mereka. Jadi kadang kaki saya tahu-tahu ada di mana. Sama saya dikembalikan lagi sendiri,” tuturnya.
 
Metode tersebut rupanya efektif, banyak murid yang akhirnya mengakui kemampuannya hingga menaruh hormat. Oleh murid-muridnya ia disebut Guru Besar Mande Muda. Warga AS juga menjunjung tinggi kesetaraan atau emansipasi. Mereka tidak melihat tua-muda, laki-laki-perempuan, tetapi yang dilihat adalah skill atau kemampuan.
 
“Di kita kan selalu ada sebutan masa perempuan pendekar, jadi perempuan tidak bisa ke depan,” katanya.
 
Dalam setiap kesempatan, Rita sering kali salah ngomong. Misalnya saat ia mengatakan kata “finish” untuk mengatakan latihan selesai, justru yang terdengar bunyi lain, artinya sama sekali keliru bahkan jorok. Tapi murid-muridnya tetap sopan tidak mentertawainya.
 
“Bayangkan, saya tidak bisa bahasa tapi mereka sopan. Kalau saya berkata salah mereka tak tertawa,” ujarnya.
 
Saat ini, pencak silat di AS sudah sejajar dengan bela diri lain. Melalui berbagai workshop di AS ia selalu mempromosikan keragaman bela diri pencak silat Indonesia.

“Jadi misi saya sekarang mengembangkan dan memperkenalkan, selanjutnya mereka saya persilakan datang ke Indonesia. Mendatangi semua perguruan di Indonesia yang semuanya bagus-bagus,” katanya.
 
Ilmu silat Mande Muda pertama kali dikenalkan di AS pada 1980 oleh Herman Suwanda. Waktu itu pencak silat masih asing, seasing nama Indonesia sebagai negara. Orang AS lebih mengenal Bali dari pada Indonesia.
 
Herman mengenalkan pencak silat melalui pertunjukkan solonya di mal-mal atau di ruang publik, diiringi musik tape. Warga AS yang melihat pertunjukkan itu banyak yang menyangka sedang ngamen. Sejarah itu pula yang membuat Rita makin semangat mengembangkan pencak silat di negeri Paman Sam tersebut.

Tag Terkait