Gedung YPK Bandung, ruang yang terancam dirampas dari publik

Oleh Farah Fuadona pada 21 Juli 2016, 11:05 WIB

Bandung.merdeka.com - Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung kini sedang disorot seniman yang tergabung dalam Dewan Kebudayaan Jeprut Jawa Barat. Para seniman khawatir YPK yang sejak dulu menjadi ruang publik kini terampas dari publik.

Indikasi keterampasan ruang terlihat dari perubahan status pengelolaan gedung yang terletak di simpang Jalan Braga-Naripan. Kini YPK berubah nama menjadi PPK dengan pengelolaan di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Awalnya, meski aset YPK milik Provinsi Jawa Barat namun pengelolaan diserahkan kepada yayasan.

Indikasi lainnya, robohnya bangunan belakang dan panggung gedung. Peristiwa ini memicu aksi DKJJB yang mempertanyakan tanggung jawab Pemprov Jabar, khususnya Dewan Kebudayaan Jawa Barat yang rencananya akan memakai gedung bekas YPK tersebut. Bahkan Dewan Kebudayaan Jawa Barat menginginkan gedung tersebut diruntuhkan kemudian dibangun kembali gedung yang lebih modern.

Seniman Matdon menuturkan, keinginan Dewan Kebudayaan Jawa Barat bertentangan dengan peraturan tentang cagar budaya. Pimpinan Majelis Sastra Bandung ini mengungkapkan, Gedung YPK merupakan Bangunan Cagar Budaya (BCB) dari 637 BCB di Kota Bandung.

“Gedung ini bahkan masuk kategori A dari 100 Bangunan Cagar Budaya yang terlampir dalam Perda Kota Bandung Nomor 19 Tahun 2009,” kata Matdon.

Selain itu, sambung dia, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 disebutkan, renovasi Bangunan Cagar Budaya kategori A tidak boleh sembarangan, tidak boleh mengubah bentuk bangunan, material yang digunakan harus sesuai dengan material asalnya dan lain-lain.

Gedung YPK juga memiliki sejarah panjang. “Tidak bisa dirobohkan begitu saja meski diganti dengan bangun baru yang lebih keren,” tandasnya.

YPK turut melahirkan artis dan seniman terkemuka antara lain Bing Slamet, sinden Upit Sarimanah, dalang sohor Ade Kosasih Sunarya dan Asep Sunandar Sunarya, hingga kelompok teater tertua di Indonesia, Studi Teater Bandung.

Lebih jauh, di zaman pra kemerdekaan Gedung YPK bernama Villa Evangeline, digunakan sebagai kantor badan hukum NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pada 1904.

Badan hukum tersebut dibuat tokoh pers nasional RM Tirto Adhi Soerjo (1878-1918). Di gedung tersebut Tirto Adhi Soerjo menerbitkan koran Medan Prijaji, surat kabar nasional pertama yang terbit menggunakan bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia).

Medan Prijaji terbit di Bandung pada Januari 1907 hingga Januari 1912. “Seluruh pekerja surat kabar ini dari wartawan sampai tim penerbitan adalah pribumi,” tuturnya.

Gedung YPK di masa Belanda juga kerap dipakai ruang publik. Waktu itu namanya sempat menjadi societet atau balai pertemuan (Ons Genoegen). Berbagai pentas hiburan dan kesenian kerap dipakai di Ons Genoegen.

“Lalu sekitar 1930-an, sejumlah tokoh politik nasional seperti Bung Karno sering mengadakan pertemuan di gedung ini,” kata Matdon.

Kini, Gedung YPK sebagai ruang publik terusik. Kegiatan di gedung ini kurang bergairah. Sejumlah komunitas seni yang membuka ruang di YPK terusir, antara lain Lingkup Seni Bahasa Sastra Sunda (LBSS) dan Sundanologi.

Dengan kondisi tersebut, sejumlah seniman yang tergabung dalam Dewan Kebudayaan Jeprut Jawa Barat, plesetan dari Dewan Kebudayaan Jawa Barat, menggelar aksi “Gerakan Save YPK”. Salah seorang penggagasnya, Mas Nanu Muda menegaskan, Gedung YPK harus tetap menjadi ruang publik.

“Gerakan save YPK awalnya dari keprihatinan kita terhadap penelantaran gedung yang kemudian tidak jelasnya kinerja Dewan Kebudayaan Jawa Barat,” katanya.

Dewan Kebudayaan Jawa Barat sendiri merupakan dewan yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang sudah tiga tahun berdiri. Namun selama tiga tahun tersebut, Dewan Kebudayaan Jawa Barat dinilai tidak memiliki strategi kebudayaan.