Monolog Tan Malaka di Bandung dibubarkan: Saya kecewa!
Bandung.merdeka.com - Pementasan monolog Tan Malaka yang sejatinya digelar Rabu malam tadi di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung dibatalkan. Sekelompok ormas Islam yang sudah mendatangi IFI sejak Rabu siang hari meminta agar panitia membatalkan pementasan tersebut.
Apa dosa Tan Malaka di mata ormas Islam itu? Mereka ternyata masih paranoid dengan Komunis. Tan Malaka yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 1963 itu dianggap musuh karena memiliki paham kekirian.
"Kami sudah jelas, agar ini tidak dilaksanakan. Sudah jelas Tan Malaka itu memiliki paham kekirian," kata Anggota FMAK yang juga Wakil Ketua Bidang Hisbah Front Pembela Islam, Dedi Subu, saat ditemui di lokasi, Rabu (23/3) kemarin.
Dedi menyebut pihaknya sudah meminta penyelenggara untuk tidak menampilkan pementasan. "Karena komunis itu musuh. Kita baca sejarah Tan Malaka itu dari haluan kiri. Jelas dilarang aliran komunis tersebut," ungkapnya.
Menurut dia, masih banyak tokoh inspiratif lain yang bisa diangkat dalam pementasan monolog. "Kok yang dimunculkan justru Tan Malaka. Enggak ada figur lain gitu? Banyak kan yang bisa diangkat di teater. Kami cinta teater dan seni juga. Tapi sudah jelas, asal jangan komunis," ujarnya.
Sebelumnya, tarik ulur pementasan monolog ini digelar atau tidak sudah memanas sejak siang antara penyelenggara dengan ormas Islam ini. Meskipun sang penulis naskah Ahda Imran sudah menjelaskan pementasan monolog ini murni pementasan seni dan tidak menyebarkan ideologi komunis, tapi anggota ormas tak bergeming dengan sikapnya; berkukuh agar monolog dibatalkan.
"Tadi sempat ada kericuhan kecil terjadi, pas saya datang sekitar pukul 19.00 WIB, tapi tidak berlangsung lama," terang salah satu calon penonton Findani di lokasi.
Penyelenggara akhirnya mengalah. Mereka pun membatalkan pementasan monolog tersebut. Selebaran kertas putih pada akhirnya ditempel di pintu masuk dengan tulisan, teater bertajuk 'Saya Rusa Berbulu Merah' dibatalkan.
Penonton kecewa
Calon penonton yang sudah menanti teater Monolog Tan Malaka di markas IFI Bandung, Jalan Purnawarman, pun kecewa. Para pegiat dan penikmat seni itu kecele lantaran acara teater bertajuk 'Saya Rusa Berbulu Merah' merah ditolak sejumlah ormas Islam.
"Saya kecewa, sudah datang dan memiliki tiket, tapi malah dibatalkan," kata Riko warga Cimahi ini yang sengaja datang untuk menonton teater, di lokasi.
Panitia membatalkan acara dengan alasan keselamatan penonton. Riko memahami alasan itu dan memilih meninggalkan lokasi. "Sudah enggak apa-apa. Saya pulang saja."
Findani, calon penonton lainnya, juga melontarkan kekecewaannya. Menurut dia, jika melihat dari sudut netral, Tan Malaka adalah sosok inspiratif. "Kalau saya baca sejarahnya inspirasi. Sudut pandang netral. Ini hanya karya seni saja," terang mahasiswi Pendikakan Bahasa Indonesia UPI tersebut.
Sementara itu, Penanggung Jawab Bidang Budaya dan Komunikasi IFI Bandung, Ricky Arnold, mengatakan ada 150 tiket disediakan penyelenggara untuk penonton. Seluruh tiket sebenarnya sudah ludes dibeli calon penonton.
"Semua kecewa. Ada yang dari Jakarta, mereka hanya ingin menyaksikan. Tapi pulang lagi," terang Ricky dengan nada sedikit masygul.
Tan Malaka memang menganut paham komunis. Namun jalan komunis waktu itu digunakan untuk melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di muka bumi. Dia pernah menjabat sebagai ketua, tetapi tak disukai oleh elite-elite PKI lain sebab tidak mendukung pemberontakan PKI 1926-1927 dan justru mendirikan Pari (Partai Rakyat Indonesia).
Saking tak sukanya, bahkan salah satu elite PKI waktu itu, Muso, bahkan sempat berucap akan menggantung Tan Malaka jika bertemu. Tan Malaka pada akhirnya juga lepas hubungan dengan Moskow karena kecewa terhadap sikap Stalin yang pragmatis dan mengambil keuntungan dari pemberontakan tersebut.
Kendati komunis, tak berarti Tan Malaka juga seorang atheis. Dalam tulisannya yang berjudul 'Islam dalam Tinjauan Madilog' tahun 1948, Tan Malaka banyak bercerita soal dirinya dan Islam dalam pandangan Madilog.
"Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat... Masih kecil sekali saya sudah bisa tafsirkan Al-Quran, dan dijadikan guru muda. Sang Ibu menceritakan Adam dan Hawa dan Nabi Yusuf. Tiada acap diceritakannya pemuka, piatu Muhammad bin Abdullah, entah karena apa, mata saya terus basah (menangis) mendengarnya. Bahasa Arab terus sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu jitu dan mulia," kata Tan Malaka .
Â