Ada yang menilai teknologi justru menghasilkan 'bencana' bagi manusia
Bandung.merdeka.com - Abad ini disebut-sebut sebagai abad informasi dan teknologi. Semua terjadi serba cepat dan efisien. Namun, dosen filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bambang Sugiharto menepis anggapan tersebut.
"Hidup tidak harus selalu efisien," kata Bambang, baru-baru ini.
Jika semua harus efisien, lanjut dia, buat apa di Bandung banyak berdiri cafe dengan musik mengalun, lampu remang-remang, dan hidangan yang dimasak lewat proses teliti.
"Kalau semua harus efisien, makanan cukup dimasukkan ke dalam kapsul dan ditelan. Tentu tidak seperti itu kan," ujar pria yang dijuluki filsuf underground karena menyukai musik underground.
Menurut pandangannya, teknologi tidaklah bebas nilai, bukan sekadar alat. Jika bebas nilai, contohnya pisau yang bisa dipakai memotong atau menusuk tergantung orang yang menggunakannya. Seakan pisau itu tergantung orang.
"Dalam filsafat beda. Alat mengubah pola pikir dan cara perilaku kita," terang lulusan Universitas San Tomasso, Roma, Italia, yang menulis buku Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat itu.
Contoh lain, sambung dia, seorang suku Asmat di Papua biasa menyelesaikan pembuatan sebuah perahu dalam waktu 6 bulan. Karena ada teknologi ia menjadi bisa menyelesaikan enam perahu dalam sebulan. Sehingga ia akan berpikir menjadi penjual perahu.
Begitu juga pola hidup seorang ibu rumah tangga akan berubah manakala dia memiliki mobil dan bisa mengendarakan mobil tersebut. Jika tanpa mobil si ibu akan menjalani rutinitasnya memasak, beli sayur di tukang sayur yang lewat, ngobrol dengan tetangga, maka setelah punya mobil acara hariannya akan berubah.
"Jadi alat atau teknologi tidak pernah bebas nilai. Teknologi memprioritaskan arah tertentu," tandasnya.
Di era sekarang ini, banyak hal yang bisa dibuat berkat teknologi. Namun apa yang bisa dibuat itu belum tentu layak diinginkan. "Nuklir atau kloning bisa dibuat, tapi apakah layak diinginkan? Apakah maju pesat itu kewajiban?"
Pandangan filsafat terhadap teknologi sendiri terbelah. Ada yang melihatnya secara pesimistik deterministik, bahwa teknologilah yang menentukan dan menghasilkan bencana bagi hidup manusia.
Tapi ada pandangan yang melihat teknologi optimis konstruktif, bahwa teknologi dibentuk dalam konteks sosial sesuai tujuan manusia. Namun, kata Bambang, ada juga yang memandangnya dalam perspektif humanistik lewat ilmu humaniora.
"Ilmu humaniora dianggap yang membuat manusia lebih manusiawi," terangnya.