Umang-Umang karya Arifin C. Noer, saat kemiskinan & kejahatan bersatu
Bandung.merdeka.com - Kemiskinan dan kejahatan menjadi tema sentral lakon Orkes Madun II atawa Umang-Umang. Dalam lakon karya sutradara kenamaan Indonesia, Arifin C. Noer, ini orang-orang kucel, dekil dan kotor menjadi pemeran utama.
Lakon yang disutradarai Patuh Aminin itu dipentaskan mahasiswa Jurusan Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung di Gedung Kesenian (GK) Sunan Ambu, Jumat (19/8) malam.
Pukul 19.55 WIB, GK Sunan Ambu sudah dipenuhi penonton yang kebanyakan mahasiswa dan dosen. Asap putih mengepul di atas panggung. Lalu muncul seorang lelaki berambut gimbal dan pakaian compang-camping.
Dengan gaya bicara seperti melantun, lelaki kotor itu mengaku bernama Semar, sebagai pemimpin rombongan sandiwara. Dalam sandiwara tersebut dirinya memerankan tokoh utama bernama Waska.
Saat Semar sedang berbicara, delapan pemain sudah duduk bersimpuh di atas panggung. Saat itulah Semar berubah menjadi Waska. Di kalangan masyarakat bawah yang termarjinalkan, Waska memiliki banyak pengikut mulai dari copet, jambret sampai rampok.
Waska adalah ayah dari anak-anak yang menjadi pelacur, punya kekasih germo, tinggal di sebuah gerbong kereta tua di perkampungan kumuh penuh sampah.
Waska memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan seluruh penjahat yang mengisi negeri ini. Menurut dia, sudah saatnya kejahatan memimpin negeri. Sudah setengah abad ia merencanakan rapat kerja para penjahat.
"Hampir setengah abad aku menantikan malam serupa ini, angin serupa ini, ketepatan hati serupa ini, lapar dan dahaga serupa ini, dan kekosongan serupa ini. Impian besar yang mengganggu makan, tidur, syahwat selama hampir setengah abad," katanya.
Di saat persiapan musyawarah besar para penjahat itu, Waska jatuh sakit. Para pengikutnya berduka. Dalam keadaan berduka, polisi sempat mengobrak-abrik sarang penyamun itu, membuat para gembel kocar-kacir.
Panggung pun sepi. Semar yang memerankan Waska, kembali hadir di atas panggung untuk menyampaikan narasi. Ia menjelaskan, di saat sakit, Waska tetap memimpin rapat kerja para penjahat. "Penjahat harus tampil tertutup dan terbuka. Pada hakekatnya bumi milik mereka," katanya.
Setelah narasi, Semar kembali berubah menjadi Waska yang lemah dan terbatuk-batuk. Anak buahnya berhasil mengumpulkan para penjahat yang biasa beroperasi di berbagai terminal dan stasiun di seluruh negeri, mulai dari Surabaya hingga Jakarta.
"Aku berdiri di depan kalian yang berasal dari berbagai agama dan suku yang dipersatukan dengan tekad kuat. Kita sudah dipersatukan ikatan nasib yang sama. Tidak oleh kebaikan, agama, apalagi kebenaran. Kita telah disatukan oleh kebutuhan dasar kita sebagai insan," kata Waska.
Namun Waska tidak bisa melanjutkan pidatonya. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya membuatnya terjatuh. Rapat para penjahat pun bubar.
Dalam catatan sutradara Patuh Aminin, naskah karya Arifin C. Noer menggambarkan kultur dan realitas yang berlangsung di lingkungan sosial, khususnya masyarakat bawah.
Menurut Patuh, teater harus menyuarakan suara-suara yang selama ini hilang, yakni suara kaum marjinal atau proletar. "Teater harus berada di barisan kaum proletar, kaum marjinal, kemudian disebarluaskan lewat pertunjukan," kata mahasiswa kelahiran Brebes ini.
Maka tidak heran, dalam lakon Umang-umang orang-orang miskin mendominasi peranan. Mereka diusir dari desa dan dicampakkan di kota. Mereka bertahan hidup dengan cara mereka sendiri, termasuk dengan melakukan kejahatan.