Asep sempat lama nganggur sebelum sukses dagang pindang
Bandung.merdeka.com - Selepas kuliah di Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Asep Fahmi (37) sempat lama nganggur. Selama nganggur ia mendapat wejangan dari orang tuanya agar membuka usaha sendiri daripada kerja di orang lain.
Di saat nganggur pula ia menikah dengan Noneng (33). Setelah empat tahun nganggur, ia memutuskan kerja menjadi supplier di sebuah supermarket di Bandung.
Enam tahun ia menjadi supplier ayam. Dari situ ia mulai kredit mobil. Namun di saat yang bersamaan ia memutuskan berhenti bekerja untuk memulai usaha.
Ia nganggur lagi sambil memikirkan jenis usaha yang tepat, sementara cicilan mobil masih lama. Istrinya kemudian menyarankan agar melanjutkan usaha pindang yang sudah jelas menjadi ciri khas Nagreg.
“Tadinya saya cari produk orang lain untuk dijual. Dari istri dapat ide ngapain jual produk orang lain sementara produk orang tua sendiri sudah terkenal. Sejak itulah ia mulai mencoba jualan pindang pusaka warisan sang buyut,” kenang Asep, kepada Merdeka Bandung, Selasa (15/3).
Awalnya ayah dua anak ini berniat membuka usahanya di Jalan Riau (Martadinata) dengan mobil kreditannya. Namun Jalan Riau dikenal sebagai daerah merah atau bebas PKL. “Mobil saya takut digembok,” katanya.
Ia terus keliling Bandung mencari tempat.“Secara kebetulan saya lewat di Jalan Karapitan. Lalu saya mulai jualan di sini sampai sekarang,” katanya.
Di jalan belakang Hotel Horison itu ia memulai usaha sejak 2012. Sebagai lulusan marketing, ia menerapkan ilmu jual beli yang didapat selama kuliah. Prinsipnya sederhana, mempraktekan jual beli dengan cara PKL.
Tiap hari ia menjajakan pindang pusaka dengan mobilnya. “Responsnya kalau setahun pertama harus kuat mental. Namanya jualan kadang sepi. Saat sepi itulah mental diperlukan,” katanya.
Namun menginjak tahun kedua ia mula mendapat pelanggan. Bahkan tiap Sabtu-Minggu selalu banyak pesanan, misalnya dari ibu-ibu ariasan. Dalam sehari, ia mendagangkan satu panci pindang berisi 150 pindang ikan mas ukuran Rp 15.000 dan Rp 20.000.
Jika lagi ramai, 150 ekor pindang bisa habis tidak sampai sore. Artinya dalam hitungan jam Asep bisa mengantongi omzet lebih dari dua juta rupiah. Ia memulai jualan dari pukul 09.00 WIB sampai sore. Sekitar pukul 19.00 ia harus kembali ke rumahnya di Nagreg.
Tiba di rumah ia tidak langsung istirahat karena harus langsung memproduksi pindang bersama istrinya. Pindang yang disiapkan malam tersebut untuk dijual esok harinya.
“Capek sih, saya harus bangun pagi, berangkat ke Bandung jualan, kemudian balik lagi ke Nagreg. Tapi lama-lama biasa. Yang berat cuman awal bangun tidurnya saja, kalau sudah bangun biasa,” tuturnya.
Ia mengakui bisa menjalankan bisnis pindang berkat kerja sama dengan sang istri. Ketika ia jualan di Bandung, istrinya harus menyiapkan ikan mas, diprosesnya dari mentah sampai setengah matang. Saat Asep datang baru ikan mas tersebut dimatangkan menjadi pindang.
Empat tahun jualan pindang telah membuahkan hasil. Asep bisa membuka rumah makan di Nagreg, mencicil rumah sendiri, mobil operasional sebagai Divisi Penjualan Pindang Pusaka Ma Ecot 2 Cabang Nagreg sudah lama lunas.
Kini ia berencana membuka rumah makan di Cianjur. “Persiapannya sudah 80 persen,” kata pria yang gemar kacamata hitam ini.