Sejak SD pakar geologi laut ini ingin teliti gempa dan tsunami

user
Mohammad Taufik 16 Desember 2015, 13:45 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Di usianya yang masih SD, Nugroho Dwi Hananto memiliki cita-cita sangat spesifik, yaitu sebagai pakar geologi kelautan. Dengan ilmu itu dia ingin meneliti gempa dan tsunami. Cita-cita itu kesampaian. Ia bisa menamatkan S1 dan S2-nya terkait geosains kelautan di Institut Teknologi Bandung. Begitu juga S3-nya yang ia dapat di Institut de Physique du Globe de Paris, Prancis.

Kini pria 43 tahun itu menjadi satu dari sedikit pakar geologi kelautan yang dimiliki Indonesia. Dia pun menjabat Kepala Subbidang Diseminasi dan Kerja Sama pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Jika ditilik dari cita-citanya di masa kecil, terkesan agak nyeleneh dibandingkan cita-cita anak umumnya, misalnya menjadi dokter, pilot atau guru. Nugroho mengakui sejak kecil ia sudah terbiasa membaca buku-buku dan menonton film-film petualangan, termasuk tentang petualangan dalam dunia laut.

Salah satu petualangan yang sangat mendorong pria kelahiran Salatiga ini untuk mencintai geologi kelautan adalah buku dan film petualangan Jean Jacques Cousteau, peneliti kelautan Perancis.

"Pengalaman penelitian Jean Jacques Cousteau dalam menguak rahasia alam di samudera-samudera di dunia menginspirasi saya untuk menjadi seorang peneliti geosains kelautan," katanya, kepada Merdeka Bandung, beberapa waktu lalu.

Baginya, menjadi peneliti geosains kelautan sangat membanggakan. Ilmu geologi kelautan berupaya memahami kejadian gempa dan tsunami, dua bencana yang selalu mengintai kepulauan nusantara. Kepulauan Indonesia sendiri berada di antara pergerakan kerak benua dan kerak samudera, yaitu kondisi alam yang di antaranya berpotensi besar menghasilkan bencana gempa dan tsunami.

Dia berharap ilmu yang didalami itu bisa menyumbangkan pemikiran, khususnya dalam mitigasi atau pengurangan resiko bencana. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang dikelilingi lautan yang berpotensi terjadinya gempa dan tsunami.

Apalagi selama ini jumlah pakar geosains kelautan sendiri masih sedikit, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. "Tidak banyak peneliti di dalam dan luar negeri yang melakukan penelitian di bidang ini," ujarnya.

Salah satu penelitian skala besar yang diikuti pria kelahiran Salatiga ini adalah riset dengan kapal R/V Fakkor milik Scmidt Ocean Institute, Amerika Serikat, di perairan Sumatera Mei-Juni lalu. Dalam penelitian yang diikuti pakar dari Singapura dan Prancis itu Nugroho menjadi Co Chip 2.

Riset bertujuan memetakan struktur dan mekanisme gempa dan tsunami bawah laut di perairan yang sempat digoncang tsunami dahsyat pada 2004 lalu.

Suka duka meneliti dasar Samudera

Salah satu tugas peneliti gelogi kelautan adalah melakukan penelitian dasar laut. Tugas ini membuat peneliti harus mau berlayar di laut lepas. Jauh dari keluarga berminggu-minggu bahkan berbilang bulan. Seperti dialami Nugroho Dwi Hananto. Misalnya pada Mei-Juni lalu saat riset dengan kapal R/V Fakkor Scmidt Ocean Institute, Amerika Serikat, di perairan Sumatera.

Riset ini sebagai rangkaian panjang penelitian yang didorong oleh bencana tsunami dahsyat pada 2004 lalu. Riset tersebut hasil kerja sama dengan Earth Observatory of Singapore serta Institute de Physique du Globe de Paris. Tujuan riset untuk menyajikan data konprehensif tentang gempa dan tsunami di laut Sumatera.

"Dengan demikian bisa dilakukan upaya pengurangan resiko bencana (mitigasi)," terang Nugroho yang dalam riset tersebut menjadi Co Chip 2.

Penelitian, dia melanjutkan, meliputi meneliti rekaman kondisi dasar laut, data seismik, hingga memetakan daerah mana saja berpotensi terdampak bila terjadi gempa dan tsunami. Dia mengaku menikmati penelitian geologi dasar laut yang terbilang langka itu. Meski resikonya harus jauh dengan keluarga selama sebulan penuh.

Kendati demikian, selama penelitian di laut dia tetap intens berkomunikasi dengan istri dan dua putra-putri tercinta, yakni Muhammad Arya Bima Anto, (12 tahun) dan si bungsu Siti Sarah Shafa Hananto, (6 tahun). "Komunikasi biasanya 5 sampai 10 menit dalam sehari. Terus biasanya pakai WA juga," ujarnya.

Pria yang sejak kecil gandrung dengan dunia laut ini menuturkan, dalam riset gempa lewat R/V Fakkor itu peneliti menembakkan peralatan canggih untuk ditanam di dasar laut. Peralatan tersebut berfungsi merekam data seismik dan membuat topografi dasar laut.

Data yang didapat kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui struktur dan mekanisme gempa yang ujungnya bisa memberi rekomendasi untuk melakukan pengurangan resiko bencana (mitigasi) gempa bumi dan tsunami.

Seperti diketahui, pasca-tsunami Aceh tujuh tahun silam, Sumatera menjadi pusat perhatian peneliti dunia, termasuk penelitian terbaru lewat riset dengan kapal R/V Fakkor. Rangkaian riset tersebut berhasil mengumpulkan data seismik kelautan. Kini bisa dibilang rekaman data gempa Sumatera sudah jauh lebih lengkap.

Ia menyebutkan, data hasil riset di dasar laut lebih kuat dan akurat dibandingkan data yang diperoleh dari daratan. "Sebelum tsunami 2004, data gempa laut Sumatera sangat minim, data yang ada berpotensi menimbulkan salah penafsiran," kata pria yang S1 dan S2-nya mengambil geofisika dan geofisika laut ITB. "Dengan menggunakan data berbasis kelautan, penafsiran tersebut bisa diminimalkan," tuturnya.

Menurut dia, penelitian pergeseran lempeng samudera dan benua akan lebih akurat jika datanya bersumber dari dasar laut.

Pulau Jawa perlu berkaca dari gempa dan tsunami Aceh

Pulau Jawa harus berkaca pada pengalaman gempa dan tsunami Aceh atau Sumatera yang terjadi pada 2004 silam. Saat ini kondisi Pulau Jawa mirip dengan kondisi Sumatera sebelum terjadi bencana dahsyat itu, yakni minim data yang memicu salah penafsiran.

Nugroho Dwi Hananto menjelaskan, sebelum terjadi gempa dan tsunami 2004, Sumatera sudah diramalkan akan mengalami gempa besar. Wilayah mana saja yang akan terdampak, masih multitafsir. Demikian pula yang terjadi saat ini di laut selatan Jawa.

Untuk itu, kata Nugroho, diperlukan penggalian data geologi kelautan di selatan Jawa. "Kita ingin penelitian dasar laut bisa segera dilakukan di laut selatan Jawa yang selama ini belum pernah diteliti," kata Kepala Subbidang Diseminasi dan Kerja Sama pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI ini.

Nugroho yakin di selatan Jawa terdapat energi besar pemicu gempa yang bentuknya masih samar-samar. Maka penelitian gempa dan tsunami di laut Jawa sangat penting dilakukan. Sebab, data geologi laut akan lebih akurat dibandingkan data geologi di darat, khususnya dalam meneliti tsunami.

Untuk meneliti seismik dasar laut diperlukan peralatan canggih dengan biaya besar. Hal itu menjadi kendala para peneliti dalam negeri. Ketika meneliti laut Sumatera, ia menuturkan, pihaknya memakai peralatan milik Amerika Serikat dan Prancis. Pengambilan data laut dilakukan dengan alat Ocean Buttom Seismometer (OBS) dan Bathymetry.

Kedua alat tersebut dipasang di dasar laut. Fungsi OBS untuk penelitian seismik dasar laut. Lama penanaman alat minimal satu bulan. Sedangkan Bathymetry untuk mencitrakan topografi laut. Kedua alat berisi informasi tentang struktur gempa, titik atau daratan mana saja yang akan terkena dampak, bagaimana periode pengulangannya, potensi tsunaminya dan seterusnya.

Ia mengatakan, negara maritim seperti Indonesia seharusnya memiliki OBS dan Bathymetry. Dengan demikian peneliti Indonesia memiliki kesempatan besar untuk meneliti dasar laut sendiri tanpa harus tergantung pada peneliti asing.

Dari sisi SDM, jumlah peneliti di Indonesia melimpah. Hanya saja terkendala dukungan berupa sarana dan prasarana. "Jika kita ingin mandiri dalam penelitian kelautan, pemerintah harus punya kemauan," katanya.

Selain itu, dengan memiliki peralatan sendiri penelitian bisa diperluas ke laut-laut yang ada di Indonesia. Dari penelitian ini akan menghasilkan puluhan hingga ratusan doktor bidang geologi kelautan.
Ia berharap, Indonesia memiliki OBS atau Bathymetry. Kedua alat ini memang mahal, OBS bisa mencapai Rp 5 miliar sedangkan Bathymetry sekitar Rp 50 miliar.

Belum lagi mengoperasikan kapal riset sekitar 300 juta per hari. Tapi hasil penelitian bisa dipakai untuk menyelamatkan penduduk dan aset di Pulau Jawa yang tak ternilai harganya.

Wilayah selatan Jawa sendiri mendesak untuk diteliti untuk mendapatkan data gempa yang menjadi dasar mitigasi bencana. Ia juga menegaskan, kedua alat tersebut bukan untuk meramalkan kapan terjadinya gempa. "Tapi untuk mengetahui seberapa besar magnitude, ketinggian tsunami, intinya meminimalkan resiko bencana," tandasnya.

Ia mencontohkan, berdasarkan kejadian selatan Jawa memiliki riwayat gempa dan tsunami akibat aktivitas megathrust di Pangandaran, Jawa Barat, pada 2006. Hal ini menunjukkan aktivitas lantai bumi. Di perairan selatan jawa terdapat banyak palung, sesar atau patahan mulai di Selat Sunda, Sesar Cimandiri, Cilacap, Banyuwangi dan terus ke timur Jawa.

Namun minimnya data membuat sulit memetakan potensi-potensi gempa tersebut. Tidak ada data acuan untuk menghitung pola pengulangan gempa dan tsunami. Setelah gempa dan tsunami Pangandaran, tidak diketahui daerah mana saja di Jawa Barat yang terancam bencana serupa.

Sedangkan secara geologis, wilayah Kepulauan Indonesia berada dalam pergerakan kerak benua dan kerak samudera yang berpotensi besar menimbulkan gempa bumi dan tsunami.

Kredit

Bagikan