Profesor Emmy Suparka, geolog perempuan pertama Indonesia
Bandung.merdeka.com - Hingga kini ilmu geologi mungkin masih dipandang sebagai ilmunya kaum adam. Jarang perempuan yang menekuni ilmu ini, apalagi sampai mendapat gelar profesor. Tetapi ilmu sendiri tidak memiliki jenis kelamin, buktinya Emmy Suparka bisa menjadi geolog dengan gelar profesor.
Emmy kini berusia 68 tahun, tiga tahun lagi akan pensiun. Meski sudah memiliki cucu, perempuan dengan nama gadis Made Emmy Relawati itu tampak bugar dan cantik. Ia menempati salah satu ruangan di Fakultas Teknologi Mineral ITB. Di ruang itu terdapat komputer, beberapa meja laboratorium, berbagai jenis bebatuan, mikroskop, sejumlah foto, dan lain-lain.
"Saya merasa tertantang menekuni geologi. Dulu saya baca artikel, Indonesia membutuhkan banyak geolog," kata Emmy membuka kisahnya bagaimana bisa menjadi geolog, kepada Merdeka Bandung, beberapa waktu lalu.
Artikel tersebut, tutur Guru Besar ITB ini, dimuat di sebuah majalah. Ia mendapat majalah itu sesaat setelah lulus SMA di Yogyakarta pada 1965. Isi artikel mengulas ruang lingkup ilmu, termasuk bagaimana geolog melakukan kerja lapangan dan labolatorium.
Pada bagian akhir, artikel tersebut menyebutkan Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa namun masih kekurangan geolog. "Dulu saya berpikir, kenapa tidak ada yang menekuni bidang itu (geologi)," ujarnya.
Ia membayangkan geolog memiliki tugas sangat menarik, melakukan penelitian di banyak tempat, mendatangi berbagai lokasi untuk survei. Ia sendiri memiliki hobi jalan-jalan atau petualang.
Ia pun mendaftar ke ITB. Ada pengalaman lucu ketika hendak memasuki ruang testing. Seorang panitia sempat mencegatnya dan mengatakan bahwa mungkin Emmy salah ruangan.
Emmy balik bertanya kepada panitia tersebut, apakah ruangan tersebut untuk testing masuk geologi? Si panitia membenarkan. Emmy kemudian menunjukkan kartu tesnya bahwa dia memang akan ikut tes geologi.
"Begitu melihat kartu testing saya, panitia tampak kaget mungin baru saat itu ada peremuan yang daftar geologi. Dan saat saya masuk ruangan, saya juga kaget ternyata laki-laki semua," kenang Emmy sembari tersenyum.
Ia tetap melanjutkan tes tersebut. Hasilnya, ia diterima di kampus teknik tertua di Indonesia itu. Peristiwa tersebut terjadi lima puluh tahun lalu. "Tapi saya merasa itu terjadi kemarin-kemarin. Saya masih ingat masa pelonco," katanya.
Selagi kuliah, Emmy menjadi asisten dosen pada 1969. Pada 1974 ia menjadi sarjana geologi bidang petrologi (bebatuan) sekaligus menjadi sarjana teknik geologi pertama di Indonesia. Bidang petrologi juga dikenal hardcore-nya geologi. "Dari dulu saya suka bidang batuan," ujarnya.
Ia pertama kali mengajar di ITB pada 1976. Kurikulum dulu memungkinkan ia untuk langsung mengambil program doktor (S3). Ia mengikuti program doktor di ITB sandwich di Laboratoire de Geochime et Cosmochimie, di Universite de Paris VI-VII, Prancis. Di sana ia belajar di labolatorium yang dipimpin Profesor J Claude Allegre, profesor yang kemudian menjadi Menristek Prancis masa itu.
Sejumlah jabatan yang pernah diemban Emmy di ITB di antaranya Ketua Departemen Teknik Geologi selama dua periode (1992- 1995 dan 1996-1998), Kepala Penerbit ITB 1998-2000, Dekan Fakultas Teknologi Mineral (FTM) 2000-2005, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan merangkap Ketua LPPM ITB (2005-2008) dan Ketua Kelompok Keilmuan Geologi.
Emmy harus kuliah di tengah pusaran peristiwa 1965
Bagi Emmy, kuliah di masa lalu jauh berbeda tantangannya dengan kuliah di masa kini. Dulu, republik ini baru terbentuk, begitu juga tatanan negara seperti institusi pendidikan. Sistem yang masih rapuh membuat satu gejolak di sebuah tatanan merembet ke tatanan lain.
Emmy kuliah di masa peristiwa 1965, masa yang sulit dan rawan. Bahkan masa itu ITB tidak menghasilkan lulusan. Tidak ada lulusan angkatan 1966 karena tahun 65-66 mahasiswa sibuk dalam gerakan turba, kependekan dari turun ke bawah, jargon yang muncul di masa Orde Lama.
"Tahun 66 itu ITB tidak ada angkatan. Hanya ada angkatan 65 lalu langsung ke 67. Tahun 65 sampai 66 kami di jalan selama setahun, tidak ada kuliah," ujarnya mengenang.
Ibu satu anak ini masih ingat bagaimana masa-masa pelonco yang biasa dilakukan untuk mahasiswa baru. Pelonco waktu itu bertepatan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Peristiwa pembunuhan para jenderal membuat situasi negara mencekam. "Jadi aktivitas kampus diliburkan, tidak ada kuliah," ujarnya.
Emmy dan kawan-kawan seangkatan bingung mengisi waktu yang penuh ketidakpastian. Terlebih ia baru saja mau masuk kuliah. "Baru saja ospek kampus sudah diliburkan," katanya seraya tersenyum.
Di saat bersamaan, gerakan turba makin intensif dilakukan mahasiswa. Gerakan ini dimaksudkan untuk menghibur masyarakat yang hidup di masa sulit. Emmy yang memiliki kemampuan tari Bali, bergabung dengan sebuah organisasi kesenian kampus.
"Saya dengan teman-teman ikut gerakan turba ke desa-desa, menghibur masyarakat yang hidup di masa sulit. Kita bernyanyi dan menari," kata perempuan yang sejak remaja rajin latihan tari Bali.
Perempuan kelahiran Bali 1948 ini menuturkan, masa itu hampir tiap hari mahasiswa melakukan gerakan turba. Semua mahasiswa seolah diwajibkan ikut turba. Mahasiswa yang masih ada di kosan diajak, pintu kosan digedor-gedor. Kosan Emmy di Jalan Ganeca Nomor 6 Bandung, juga turut digedor-gedor.
Gerakan turba sendiri bermacam-macam, tidak hanya nyanyi dan nari. "Kami juga demonstrasi. Kalau saya sih hanya intens turba lewat kelompok kesenian saja," ujarnya.
Kondisi kampus normal kembali satu tahun setelah peristiwa G30S. Emmy efektif memulai perkuliahan pada 1967. Berikutnya ia tercatat sebagai sarjana perempuan bidang geologi pertama di kampus tekhnik tertua di Indonesia itu.
Jatuh cinta pada batu
Emmy awalnya tertantang untuk masuk geologi ITB. Setelah masuk, ia mendalami petrologi atau bebatuan, sebuah cabang ilmu geologi yang dikenal 'hardcore'. Selanjutnya ia jatuh cinta pada batu.
"Buat saya batu-batuan sangat menarik. Bebatuan menyimpan banyak cerita. Saya cinta luar biasa sama batu," kata Guru Besar ITB ini.
Petama masuk ITB pada 1965, Emmy menjadi satu-satunya perempuan yang mengambil geologi. Pasca-peristiwa 1965, seorang perempuan lagi masuk Geologi, Eti Sunarti, mahasiswi perwakilan daerah asal Bukitinggi, Padang.
Emmy dan Eti jadi teman karib. Keduanya saling mendukung dan membantu. Emmy juga mengaku mendapat banyak dukungan dari rekan seangkatan maupun para dosen. Ia sering diajak dalam setiap kegiatan keilmuan.
Ia sudah terbiasa menjalani kuliah lapangan di Karang Sambung, Jawa Tengah. Di sana ia dibimbing peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI ). Ia mengikuti berbagai kegiatan survei geologi, misalnya mendatangi lokasi gempa dan longsor kemudian membawa bebatuan akibat gempa dan longsor tersebut untuk diteliti di labolatorium.
Baginya, batu merupakan satu kekayaan alam yang menyimpan banyak misteri, memiliki banyak sisi yang menarik, mulai dari kandungan mineralnya, bentuknya, warnanya, sejarahnya, umurnya, dan lain-lain.
Penelitian terhadap batu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Secara kasat mata, batu memiliki bentuk berbeda jika dilihat dengan kaca pembesar. "Jika meneliti dengan mikroskop, kita akan melihat detail dan variasi," katanya.
Ia mengungkapkan, batu memiliki sifat optik yang khas yang akan muncul jika dipotong. Cara memotong akan memengaruhi sifat optik batu. "Kalau dipotong dari atas ke bawah akan berbeda bentuk dan warnanya bila dibandingkan dengan dipotong menyamping," jelasnya.
Misalnya, kata dia, batu kristal memiliki banyak sisi untuk digali. Cerita batu kristal akan didapat melalui bentuk, warna, tekstur, hingga goresan-goresan yang ada. Batu tersebut bisa memberikan informasi penyesaran atau patahan gempa. "Informasi penting tentang gempa bisa digali dari sebuah batu yang mengalami penyesaran," terangnya.
Menurut dia, informasi yang ada pada batu sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Contohnya, bagaimana membuat bangunan tahan gempa maupun longsor, atau daerah mana yang rawan gempa maupun longsor.
Itu sebabnya ia memilih mendalami petrologi daripada ilmu lain yang ada dalam geologi, ilmu fosil misalnya. Petrologi merupakan salah satu bagian atau Sub Kelompok Keilmuan Geologi.
"Batu beda dengan fosil yang jika dipotong dan diamati lewat mikroskop hasilnya tidak banyak berubah. Yang membuat batu menarik karena dia berubah warna dan lebih dinamis," terang sarjana yang program doktornya didapat dari Universite de Paris VI-VII, Prancis ini.
Orangtua Emmy Suparka cuma lulusan SD
Emmy Suparka lahir di Bali 67 tahun lalu. Peran orangtua sangat besar dalam meraih cita-citanya menjadi sarjana geologi, hingga jadi profesor saat ini. Ia mengakui, tanpa peran orangtua mustahil cita-citanya terwujud.
"Pendidikan ayah saya sampai SD dan ibu sekolah kepandaian putri. Tapi merekalah yang mendorong saya untuk terus sekolah dan belajar," tutur Emmy, geolog perempuan pertama di Indonesia.
Emmy merupakan anak kedua dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Putu Badjre Kusumaharta dan Nyoman Resike. Perempuan dengan nama gadis Made Emmy Relawati ini melewatkan masa kecilnya di Bali. Tidak heran jika ia mencintai tari Bali.
Pada usia delapan tahun, ia mengikuti kedua orangtuanya pindah ke Yogyakarta. Ayah Emmy merupakan pengusaha angkutan, sedangkan ibunya membantu masalah administrasi perusahaan tersebut.
"Saya terus didorong ibu untuk selalu belajar. Perempuan harus punya kemampuan," kata dia, menirukan pesan sang ibu.
Ia menamatkan sekolah dasar hingga SMA di Kota Gudeg. Saat SMA ia mengambil jurusan ilmu pasti dan alam (PAL), jurusan yang kelak mengantarkannya untuk menekuni geologi. "Tiap libur sekolah saya mudik ke Bali untuk belajar tari Bali," kata ibu satu anak yang hobi nari ini.
Sepeninggal ayahnya, sang ibu terus memotivasinya. Salah satu nasihat ibunya yang selalu ia ingat adalah perempuan harus memiliki daya saing. Motivasi tersebut menanamkan kemauan yang keras. Ia ingin sekolah tinggi seperti laki-laki.
Masa itu perempuan masih dipandang sebelah mata. Ia merasakan sendiri pandangan tersebut di masa-masa kuliah di ITB. Terlebih ia mengambil ilmu yang didominasi laki-laki, yaitu geologi. Tetapi secara umum, lingkungan kampus mendukungnya. Kemauan kerasnya membuat rekan mahasiswa dan dosen banyak yang membantu.
"Kalau kita berhasil kadang ada celetukan negatif. Tapi itu mendorong saya agar menunjukkan kemampuan saya," katanya.
Saat mengambil S3, ia menikah dengan seniornya, Suparka. Tantangan masa lajang dengan menikah tentu berbeda. Ia harus pandai-pandai mengatur waktu antara kuliah, mengajar dan keluarga. "Dengan begitu menikah bukan hambatan," ujarnya.
Menurut dia, setiap masalah yang muncul dalam pekerjaan maupun keluarga bisa didiskusikan dan dikerjakan. Baginya, Suparka adalah suami sekaligus rekannya dalam bekerja. Suparka sendiri merupakan peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
Suparka, kata dia, adalah suami yang mau menerima istri apa adanya. "Dia justru banyak memfasilitasi saya. Saya juga harus tahu diri, tidak menyalahgunakan kebebasan dari suami," katanya.
Berumah tangga bersama Suparka, Emmy dikaruniai seorang putra, Krishna Murti. Krishna kini sudah berkeluarga. Dari putra tercinta ia sudah mendapat cucu.
Manisnya berkeluarga menepis mitos bahwa seorang geolog perempuan sulit mencari pasangan hidup. Mitos ini muncul karena lelaki tidak mau memiliki calon istri seorang geolog yang tugasnya lebih banyak di lapangan. Bagi Emmy, penilaian itu muncul di saat geolog masih dianggap sebagai pekerjaan laki-laki.