Jurnalis yang kini menjadi ketua gerakan guru honorer

user
Mohammad Taufik 15 Desember 2015, 13:04 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Bicara guru honorer tidak lepas dari Forum Komunikasi Guru Honorer (FKGH) Bandung. Lewat FKGH, hampir 20 ribu guru honorer di Bandung kompak berserikat. Di level nasional, FKGH berhasil mendorong lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Honorer Menjadi PNS.

Salah satu motor FKGH adalah Yanyan Herdiyan, kini menjabat sebaga ketua. Ayah satu anak ini mengatakan, banyak guru yang masuk ke dunia pendidikan tadinya karena terpaksa.

"Tapi ketika sudah menjalani, keterpaksaan itu berubah menjadi pengabdian," katanya, kepada Merdeka Bandung, beberapa waktu lalu.

Dia sendiri tadinya coba-coba saja memenuhi ajakan seorang teman untuk ngajar bahasa Inggir di SD Sayuran Cijerah pada 1998-2000. Pertama kali masuk SD tersebut, dia kaget guru yang ada di sekolah itu hanya dua orang, harusnya minimal enam guru yang ngajar dari kelas 1 sampai kelas 6.

"Ternyata guru lainnya sibuk mencari sampingan," terang guru kelahiran 13 Februari 1970 itu.

Rupanya penghasilan guru honorer sangat jauh untuk bisa menutupi kebutuhan pokok. Ia ingat, honor pertamanya masa itu hanya Rp 75.000 sebulan. Menurut dia, ada yang salah dari sistem pendidikan, khususnya menyangkut kesejahteraan guru honorer.

"Melihat kondisi persekolahan yang memperihatinkan, yang tadinya hanya ingin coba-coba ngajar saya jadi terikat," ujarnya.

Background pendidikan Yanyan bukan guru, melainkan sarjana ilmu komunikasi Universitas Padjdjaran. Sebelumnya ia adalah jurnalis Cianjur Pos yang kemudian menjadi penulis lepas di sejumlah koran harian di Bandung.

Jauh sebelum menjadi honorer, ia pernah ditawari sang ibu, Ikah Atikah, yang juga guru di SD Bandung Kulon IV, untuk mengajar. Tawaran itu dia tolak, karena ingin berkarier di jurnalistik. "Saya suka pergi ke berbagai tempat untuk membuat feature."

Nasib guru honorer saat ini ada sedikit peningkatan dibandingkan guru honorer zaman dulu. Dulu, tidak ada sertifikasi dan tunjangan fungsional. Guru honorer seolah dianaktirikan dibandingkan guru negeri (PNS).

Pada 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengankatan guru bantu. Banyak rekan-rekannya yang diangkat menjadi PNS. Pengangkatan itu menunjukkan peluang bahwa guru honorer bisa diangkat jadi PNS.

Maka digagaslah pembentukan FKGH di SMA Pasundan 3 pada 2007. Yanyan diangkat menjadi koordinator FKGH Kecamatan Bandung Kulon. Tahun itu pula gerakan besar pertama FKGH bergulir dengan tuntutan pengangkatan guru honorer menjadi PNS.

Ia menuturkan, para guru honorer melakukan demonstrasi besar-besaran ke Jakarta. Di ibu kota aksi ini memacetkan jalan masuk di depan DPR RI. Aksi ini menarik perhatian media televisi nasional.

Ia menduga, Presiden SBY waktu itu menonton aksi para guru. Tidak lama setelah aksi, dibentuklah Panja yang kemudian bersama DPR melahirkan PP 56. "Kalau tidak ada aksi itu, mungkin PP 56 tidak akan lahir," katanya.

PP 56 tidak berlaku bagi guru saja, tetapi bagi honorer selain guru. "Itu aktornya FKGH. Dampak PP 56 membuat tenaga honorer di luar guru juga kebagian manfaatnya," ujar pria yang kini guru olahraga di SD Bandung Raya, Cijerah, tersebut.

Meski sudah jadi guru honorer, ia masih membiasakan menulis artikel lepas. Namun kesibukannya membuat intensitas tulisannya berkurang drastis. "Dulu awal-awal jadi guru saya masih sering dapat honor tulisan. Kini setelah punya anak istri ditambah kesibukan jadi guru, paling tiga bulan sekali nulis," katanya seraya tertawa.

Kredit

Bagikan