Kisah Mulyana merintis sekolah keperawatan berbasis Islam di Bandung
Bandung.merdeka.com - Berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan di tahun 1980-an, Mulyana mengaku prihatin dengan minimnya tenaga perawat di rumah sakit. Selain itu, kebanyakan perawat di rumah sakit besar adalah non-muslim.
Tak berniat menyinggung soal unsur SARA (Suku Agama dan Ras), namun menurut Mulyana, pemeluk agama Islam memiliki caranya sendiri dalam melakukan keperawatan kesehatan. Dengan begitu, dia pun berniat untuk membuat sebuah sekolah khusus kesehatan berjenjang perguruan tinggi dengan berlandaskan agama Islam.
Di akhir 1994, Mulyana memberanikan diri mendirikan Yayasan Adhi Guna Kencana, dan memulai sebuah perguruan tinggi yakni Akademi Keperawatan Bhakti Kencana di kawasan Ujung Berung, Bandung.
"Mulai bangun kampus tahun 94, tempo hari sekolah berbasis kesehatan dan Islam itu sedikit, jadi ingin mendirikan sekolah kesehatan. Karena prihatin perawat masih kurang, maka tergerak mencetak perawat, khususnya berdasarkan akidah," ucap Mulyana, Jumat (27/11).
Dia mengklaim Akademi Keperawatan (Akper) berlandaskan kaidah-kaidah Islam rintisannya itu merupakan yang pertama di Indonesia. "Ada juga satu Muhammadiyah tapi masih setingkat SMA, nah kebetulan saya mendirikan akademi," terang pria kelahiran Majalaya 57 tahun lalu ini.
Selain mengajarkan ilmu seputar kesehatan, Mulayana juga menjadikan pembelajaran kajian agama Islam sebagai kurikulum. Bahkan, sistem perkuliahannya pun dia terapkan seperti sebuah pesantren.
"Sampai sekarang di Akper Bhakti Kencana Ujung Berung, khusus yang muslim, yang masuk ke situ hanya pemeluk agama Islam. Karena di situ ada pelajaran bahasa Arab, dan kultur pembelajarannya berbasis pesantren," terangnya.
Sebagai seorang PNS, gaji Mulyana yang tidak begitu besar menjadi kendala tersendiri untuk mewujudkan cita-citanya itu karena membutuhkan biaya cukup tinggi. Selain operasional dia juga memerlukan sarana dan prasarana sebagai modal awal.
"Kendala terbesar pada tempo hari masalah kekurangan sarana dan prasarana dan dana, karena saat itu saya hanya PNS biasa, dan saya ngurus sendiri mulai dari pendirian yayasan sampai membuat akademi," tegasnya.
Karena niat kuatnya, Mulyana pun memberanikan diri mencari pinjaman dari beberapa bank. "Ya Alhamdulillah sedikit demi sedikit bertahap bisa teratasi, gimana niatnya aja, asal niatnya 'panceg' kan istilahnya 'lamun keyeng pasti pareng'," katanya sambil tersenyum.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada 1999 Mulyana mendirikan lagi sebuah perguruan tinggi khusus ilmu kesehatan. Namun, kali ini dia tidak mengklasifikasikan hanya bagi seorang muslim saja, melainkan dibuka untuk pemeluk agama lainnya yang ingin mempelajari ilmu kesehatan.
"Tapi semakin ke sini membuka perguruan tinggi yang lain yang sifatnya untuk umum. Kita berangkat dari ajaran agama, orang yang mengamalkan ilmu itu adalah sodaqoh yang tidak berhenti," paparnya.
Memulai karir di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung pada 1980 lalu pindah ke tingkat provinsi pada 1990, Mulaya memutuskan pensiun dini di usia 48 pada 2006 silam. Sejak saat itu dirinya memilih fokus mengembangkan sekolah kesehatan ini ke berbagai daerah.
Di samping itu, ayah lima anak ini juga harus berupaya agar sekolahnya bisa tetap bertahan dalam jangka waktu lama. Juga menjawab tantangan perkembangan zaman, yang menuntut setiap ahli kesehatan bukan hanya memiliki kecerdasan mumpuni, tetapi harus diiringi dengan mental dan karakter kuat.
"Saya punya angan-angan bahwa lembaga ini bisa eksis 200 tahun ke depan, walaupun pendirinya sudah enggak ada tapi ada penerus yang melanjutkan, jangan sampai hanya tinggal nama. Banyak hal yang harus diperbaiki, termasuk karakter, attitude," ujarnya.