Indonesia minim pemandu wisata karena sertifikasi yang jadi kendala
Bandung.merdeka.com - Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Yayasan Pariwisata Indonesia - AKTRIPA, Bambang Hermanto mengatakan, jumlah pemandu wisata di Tanah Air terbilang minim. Dari target 10ribu pemandu wisaya yang dipasang oleh Kementrian Pariwisata, hingga saat ini jumlahnya hanya ada 30 persennya saja.
Angka tersebut, kata dia, sangat minim. Padahal, Indonesia dikenal memiliki potensi pariwisata yang begitu kaya. Tak hanya wisata alam, widata buatan juga bisa mencuri perhatian untuk wisatawan mancanegara.
"Kementerian Pariwisata punya target 10 ribu pemandu wisata untuk tahun ini. Namun, hanya 30 persen yang baru bisa tercapai. Kalau permasalahan ini enggak terselesaikan, ya wisatawan yang datang dari beberapa negara seperti Malaysia atau Filipina terus menerus membawa pemandu wisata sendiri," ujar Bambang kepada Merdeka Bandung saat ditemui dalam acara Reuni Akbar STIEPAR YAPARI AKTRIPA di Dr. Sutami, Jumat (19/8).
Dengan hadirnya pemandu wisata asing dari negaranya sendiri, lanjutnya, tentu saja mengancam keberadaan pemandu wisata di Indonesia. Padahal,hal tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk memperbanyak sumber daya manusia diranah pariwisata.
"Beberapa travel agent dari Malaysia misalnya, mereka membawa pemandu wisatanya sendiri. Tidak menggunakan jasa pemandu wisata kita, itu kan sangat disayangkan. Hal tersebut juga enggak bisa kita tahan. Makanya, Indonesia harus punya lebih banyak lagi pemandu wisata," terangnya.
Salah satu masalah masih minimnya jumlah pemandu wisata karena harga sertifikasi yang terbilang mahal. Kata Bambang, untuk mendapatkan sertifikasi saja dibutuhkan biaya hingga Rp 1,5 juta. Hal tersebutlah yang membuat angka pemandu wisata minim.
Terlebih, banyak mahasiswa yang enggan mendapatkan sertifikasi karena prosesnya yang membutuhkan waktu. Terutama untuk mahasiswa pariwisata yang sudah lulus kuliah kerap malas karena banyaknya aktivitas.
"Kendala terutama pada mereka yang sudah lulus, sibuk dengan kegiatannya sendiri. Kadang malah merasa enggak penting mendapatkan sertifikasi itu karena sudah di zona nyaman atau sudah mendapatkan pekerjaan," tutup dia.