Atap Bumi, komunitas lima perempuan kritis di era digital

user
Mohammad Taufik 27 Mei 2016, 09:36 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Membuat suatu komunitas tidak harus melibatkan banyak orang. Lima orang pun jadi seperti yang biasa dilakukan Atap Bumi, sebuah komunitas yang dibentuk lima perempuan.

Atap Bumi didirikan pada 2013 oleh Dayinta Sekar Pinasthika, Eunike Gloria, Rizkyana Dipananda, Mabella Rahesti Azalia, Meethildis Halim. Kelimanya membentuk 'geng' ini ketika sama-sama belajar di Hubungan Internasional (HI) Universitas Parahyangan (Unpar).

Sejak awal berdiri hingga kini, mereka kerap membuat acara mulai nonton film bareng dan mendiskusikannya, menerbitkan zine, hunting foto dengan kamera film, membuat puisi dan kartu pos.

Kenapa di era digital ini mereka masih susah-susah menerbitkan zine atau memotret dengan kamera film kemudian repot-repot membuat kartu pos?

"Hal-hal yang sifatnya fisik memiliki proses kreatif yang berbeda dengan ranah digital," kata Dayinta Sekar Pinasthika, saat berbincang dengan Merdeka Bandung.

Pesatnya teknologi internet menuntut orang-orang memiliki media sosial, belum lagi dengan grup-grup WA, BB, dan lain-lain yang membuat diskusi bisa dilakukan secara maya. Sementara informasi, gambar maupun film saban detik membanjir di internet.

Meski demikian, mahasiswi tingkat akhir itu menegaskan bahwa manusia tetap membutuhkan ruang-ruang diskusi tatap muka. Ada hal-hal dunia fisik yang tidak bisa tampil di layar gadget.

"Kita mencetak kartu pos, memotret pakai film, membuat zine ingin menunjukkan bahwa tidak segala hal ada di layar yang sifatnya digital," ujar Dayinta.

Kendati demikian, Atap Bumi bukan komunitas yang anti digital. Atap Bumi memiliki instagram @atapbumi dan memakai surel atapbumi@gmail.com serta tatanan-tatanan digital lainnya. Instagramnya diikuti 63 pengikut.

"Kita perlu yang fisik, kita ingin menyeimbangkan (yang fisik dan yang digital)," katanya, diamini salah satu sobatnya, Eunike Gloria yang akrab disapa Nike.

"Menurut saya kegiatan-kegiatan bersifat fisik perlu dan penting. Kegiatan fisik dan digital harus seimbang. Jika tidak nanti tenggelam karena berat sebelah," ujar Nike menimpali.

Fenomena saat ini orang-orang ribut di grup-grup digital, misalnya di media sosial, sibuk di internet, seolah meninggalkan dunia fisik. Tetapi diskusi di dunia digital tersebut justru redup jika diajak kopi darat atau bertemu tatap muka.

Untuk merawat budaya tatap muka, maka Atap Bumi menyiasatinya dengan menggelar berbagai acara yang menuntut kumpul bareng. Salah satunya nonton film bareng.

Baru-baru ini mereka memutar film Another Trip to the Moon karya Ismail Basbeth yang dihadiri sekitar 35 orang. Peserta nonton tidak hanya HI Unpar, tetapi lintas kampus. Di sela nonton bareng, Atap Bumi mengedarkan zine terbitan mereka, tidak ketinggalan juga kartu pos buatan mereka.

Pemutaran film memang menjadi andalan mereka untuk bertemu secara fisik. Film yang akan diputar harus memiliki kriteria tertentu, terutama film Indonesia yang akses penyebarannya terbatas.

"Yang mendorong membentuk Atap Bumi karena ingin berbagi. Sayang kan kalau kita punya karya tak dinikmati orang lain. Orang lain harus ikut senang, tertawa dan sedih bersama. Sama dengan film, kita punya akses nonton kenapa orang lain tidak," katanya.

Atap Bumi sendiri didirikan lima orang mahasiswi yang sama-sama suka nongkrong di roof top Unpar. "Meski kita sering nongkrong di atas atap, tapi kegiatan kita harus membumi," kata Dayinta.

Kredit

Bagikan