Telkom University kembali raih APICTA Award

user
Farah Fuadona 12 Desember 2017, 13:53 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Prestasi internasional kembali diraih Telkom University pada ajang APICTA (Asia Pacific ICT Alliance) Award 2017 yang diikuti oleh 17 Negara Asia Pacific di Dhaka Bangladesh 7 hingga 10 Desember 2017, dimana pada tahun 2016 Telkom Unviersity juga meraih penghargaan yang sama. APICTA merupakan aliansi dari organisasi ICT untuk membangun dan meningkatkan jaringan guna meningkatkan kerjasama dalam bidang ICT serta meningkatkan inovasi teknologi serta mendorong pengembangan ICT untuk pasar global.

APICTA Awards sendiri merupakan program penghargaan internasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran ICT dalam masyarakat dan membantu menjembatani kesenjangan digital.

Program ini dirancang untuk merangsang inovasi ICT dan kreativitas, meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan, memfasilitasi transfer teknologi, dan menawarkan peluang bisnis yang cocok melalui paparan kapitalis ventura dan investor.

Acara yang diadakan sejak tahun 2001 ini diikuti oleh 17 negara se-Asia Pacific yang terdiri dari 200 team dari seluruh Asia Pacific. Telkom University pada ajang ini menurunkan dua tim yakni tim Rhythm yang beranggotakan Abdul Rahman Safari, Fiona Ramadhani Senduk, Dani Agung Prasetyo, Musa Abdul Aziz dan Faishal Rahman. Tim selanjutnya adalah knocknock dengan anggota Aidil Afdan Pananrang, Januar Triandy Nur Elsan dan Mochammad Agusta Naofal hakim.

Tim Rhythm dengan project Adaptive Arrhythmias Monitoring System berhasil meraih merit award dengan kategori student tertiary project, merit award sendiri merupakan penghargaan kepada team yang memiliki selisih point penilaian yang kecil terhadap award atau mungkin umum dibilang sebagai runner up atau medali perak.

Satria Mandala, selaku dosen pembimbing tim Rhythm dan tim knockncok menjelaskan bahwa project Adaptive Arrhythmias Monitoring System. Merupakan sistem cerdas yang bisa menghandel monitoring aritmia sewaktu ada internet maupun sedang tidak ada internet (off line).

Di Indonesia kasus Aritmia cukup tinggi sedangkan peralatan medis untuk penanganan aritmia terbatas, hal ini menyebabkan meningkatnya persentase kematian bagi pasien aritmia, artimia sendiri merupakan masalah pada irama jantung ketika organ tersebut berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur.

“Seperti kita tahu bahwa koneksi internet tidak selalu stabil, oleh karena itu latar belakang dari project ini adalah untuk memberi harapan baru dalam mengatasi masalah dalam penanganan aritmia di Indonesia, dimana alat ini dapat memprediksi potensi aritmia yang mampu dioprasikan secara online dan offline” kata Satria dari siaran berita yang diterima Merdeka Bandung, Selasa (12/12).

Kredit

Bagikan