Konferensi sains dan atmosfer tingkat interasional digelar di kampus ITB Bandung

user
Endang Saputra 19 September 2018, 13:06 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bersama ITB menggelar konferensi sains dan atmosfer tingkat Internasional di Kampus ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung. Konferensi internasional bertajuk 'International Conference on Tropical Meteorology and Atmospheric Science (ICTMAS)' ini digelar selama dua hari pada 19 – 20 September 2018.

Dalam acara ICTMAS ini dihadiri 30 pembicara dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Inggris, Malaysia, dan Indonesia yang akan berbagi ilmu pengetahuan dalam bidang keilmuan terkait. Acara dibuka oleh Kepala LAPAN, Prof Thomas Djamaluddin dan Rektor ITB Prof. Kadarsah Suryadi.

Kepala Lapas Thomas Djamaluddin mengatakan, digelarnya konferensi ini sangat penting sekali terutama berkaitan dengan riset dan pemanfaatan sains dan teknologi dalam bidang meterologi tropis dan sains atmosfer. Apalagi menghadirkan pakar-pakar internasional.

"Ini penting sekali dan alhamdulillah bisa menghadirkan pakar-pakar terkait meteorologi dan sains atmosfer. Dari Australia, Amerika, Inggris kemudian Jepang dan juga pembicara dari berbagai negara Asia," ujar Thomas kepada wartawan di sela acara.

Thomas mengungkapkan, saat ini kondisi atmosfer di bumi sangat dinamis. Hal ini terjadi karena dipengaruhi kondisi alam.

"Dulu ada empat musim di belahan bumi bagian Selatan dan Utara. Di negara tropi seperti Indonesia ada dua musim yakni musim hujan dan kemarau dengan peralihan musim pancaroba. Kita dulu hanya kenal begitu, tapi belakangan ada efek dari suhu Samudera Pasifik yang disebut fenomena El Nino dan La Nina. Pada saat El Nino musim kering panjang. Pada saat La Nina musim hujan panjang," kata dia.

Selain itu juga, muncul pula fenomena Dipole Mode (DM) yang merupakan pengaruh dari suhu Samudera Hindia. Adanya fenomena ini juga mempengaruhi cuaca dan suhu di berbagai belahan bumi. Belum lagi kata Thomas adanya cuaca ekstrem yang terjadi di beberapa negara di dunia. Dia mencontohkan seperti Topan Jebi di Jepang yang banyak menimbulkan kerusakan. Kemudian badai Florence yang mengancam Amerika serta cuaca ekstrem lain yang terjadi di berbagai negara lain karena efek perubahan iklim.

"Kondisi ekstrem ini juga menarik dibahas, mengapa kejadian ini sangat kuat. Apa ada pengaruh perubahan iklim, itu mungkin isu-isu yang menarik untuk dibahas. Alhamdulillah hari ini bisa menghadirkan pakar-pakar terkait dengan atmosfer khususnya di benua maritim Indonesia," ungkapnya.

Konferensi ini sendiri merupakan rangkaian kegiatan kerjasama riset internasional the Years of Maritime Continent (YMC) 2017-2019 yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan prediksi atmosfer. Sehingga diharapkan akan mendukung pembangunan nasional di berbagai sektor seperti pertanian, perikanan, perhubungan, energi, lingkungan hidup, kesehatan dan penanggulangan bencana.

Peserta konferensi yang telah mengirimkan abstrak berjumlah 160 peserta yang berasal dari negara Jepang, Malaysia, Filipina, India, Singapura, Peru, Tiongkok dan Indonesia. Makalah yang dipresentasikan sebanyak 76 peserta oral dan 84 dalam bentuk poster. Diharapkan para peserta khususnya generasi muda yang mengkuti kegiatan ini dapat lebih terpacu untuk terus melakukan riset dan teknologi yang bermanfaat luas bagi masyarakat.

Dalam acara ICTMAS 2018 ini juga menghadirkan keynote speaker Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, dan Direktur JAMSTEC-Jepang, Dr. Kunio Yoneyama.

Kredit

Bagikan