Puisi bisa menjadi media dakwah tapi bukan berisi ceramah
Bandung.merdeka.com - Puisi bisa menjadi media dakwah, tetapi puisi tidak harus berisi ceramah. Demikian disampaikan kritikus sastra Pungkit Wijaya yang menjadi juri dalam Lomba Menulis Puisi Ramadan yang digelar Majelis Sastra Bandung.
Lomba bertema spiritualitas Ramadan itu diikuti 70 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Total karya yang terkumpul sebanyak 140 puisi. Pungkit Wijaya menilai, banyak perserta yang terjebak pada tema Ramadan sehingga mereka menulis hal-hal klise atau umum.
Contohnya, kata kritikus dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati itu, banyak perserta yang menuliskan bahwa bulan ini adalah bulan suci, bulan berkah, bulan ladang amal dan lain-lain. “Itu semua sudah diketahui banyak orang termasuk ustadz dan pendakwah televisi,” katanya.
Menurutnya tema spiritualitas Ramadan cukup sulit diatasi jika penulisnya tidak berpijak dari pengalaman pribadi ketika melewati Ramadan.
Selain itu, ia mengatakan puisi tidak seperti ceramah. Puisi adalah usaha penyusunan kata menjadi kalimat yang bisa menarik pembaca menjadi sedih, senang atau tertawa.
Seorang penulis puisi biasanya hanya memberi kalimat yang harus kita maknai. Bukan hendak menerangkan seperti para ustadz atau dai ketika ceramah. “Maka puisi bisa sebagai dakwah atau pun tidak” ujarnya.
Kalau pun puisi sebagai bentuk dakwah, menurutnya tidak melulu berputar pada tujuan harus menyadarkan orang. “Puisi pasti menyimpan sesuatu untuk pembaca, karena puisi sifatnya konotatif bukan denonatif. Itu pula yang sekaligus bukan dakwah karena puisi tak akan bisa lepas dengan pengalaman diri si penulisnya,” ujarnya.