Menimba pencerahan dari musik hiphop band asal Bandung

user
Farah Fuadona 18 Juni 2016, 10:19 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Generasi setelah 1994, para penggemar band-band underground pasti kenal dengan Homicide. Band hiphop asal Bandung ini menjadi salah satu band yang gencar melakukan kritik sosial dan kekuasaan lewat lilik-liriknya.

Lingga Agung Partawijaya menjadi salah satu generasi yang terpengaruh Homicide. Kini Lingga mengajar di Prodi Desain Komunikasi Visual Telkom University, Kabupaten Bandung. Meski band legendaris itu sudah lama bubar, Lingga tetap mengaku fanboy-nya Homicide. Ia merasa “berutang budi” karena Homicide telah mencerahkan pikirannya.

Pengalaman Lingga diulas dalam rangkaian acara pameran The Nekrophone Traces: Arsip, Manuskrip dan Dokumentasi Homicide berjudul “Musik, Spiritualitas dan Perubahan Sosial,” di Artspace & Library, Bandung. “Saya kenal Homicide saat SMA, awalnya saya tidak suka liriknya karena terlalu keras, beda dengan musik hiphop yang biasa ditampilkan di televisi,” tutur Lingga.

Perkenalannya dengan musik-musik keras sebenarnya terjadi sejak SMP. Namun karena masih polos, ia lebih menyikai musik-musik suguhan televisi. Ketika menginjak SMA, baru ia menonton Herry Sutresna a.k.a Ucok Homicide, konser memakai kaos bergambar Abu Bakar Baasyir. Ucok berteriak-teriak nyanyi.

Di saat yang sama Lingga sedang minat-minatnya membaca buku-buku agama. Bahkan ia berniat bergabung dengan ormas tertentu. Ia kembali mendengar lagu Homicide lainnya berjudul Puritan.

Lalu seorang temannya kemudian merekomendasikan membaca buku Nietzsche, Sabda Zarathustra. Rupanya lirik-lirik Homicide banyak terinspirasi filsuf Jerman itu.

Lingga makin penasaran mencari referensi lirik-lirik Homicide. Begitu masuk kuliah di Universitas Pasundan, perkenalannya dengan Homicide makin sering karena band itu makin sering manggung.

Di saat yang sama, ormas tertentu sering membubarkan suatu acara yang digelar pemuda. Lingga sempat menjadi sasaran, lalu lari ke kampus. Waktu itu ormas tidak berani masuk kampus.

“Sejak itulah saya mulai jatuh cinta pada lirik-lirik Homicide. Jika mengutip Foucault, liriknya menggunakan meta narasi, perlu banyak catatan kaki,” katanya.

Salah satu lirik Homicide yang memerlukan banyak catatan kaki antara lain Boombox Monger dalam album Nekrophone Dayz. Berikut liriknya. Jika konsumen adalah raja maka industri adalah Kasparov/ dan setiap vanguard lapangan tak lebih Lenin dari Ulyanov/ mencari poros molotov/ yang tak lebih busuk dari kritik kapitalisme George Soros.

Bagi Lingga remaja, siapa Kasparov? Ia pun mencari tahunya. Ternyata Garry Kasparov adalah grandmaster catur Rusia. M akin menyelami lirik Homicide, Lingga merasa pikirannya terbuka. Maka pada 2008 ia menulis skripsi menggunakan pendekatan kampanye antineoliberal yang selalu didengungkan Homicide.

Waktu itu teknologi internet belum secanggih sekarang. Untuk mencari lirik lengkap Homicide masih harus dilakukan dengan cara manual, yakni bertemu langsung dengan sang musisi. I a kemudian bertemu dengan Ucok. Pertanyaan pertama yang ia ajukan apakah Homicide itu band politik. Namun Ucok menjawab santai, tidak, liriknya keseharian saja. Ucok juga menyebutkan Homicide bisa disebut punk atau hiphop, bebas.

Lingga terus mencari referansi lirik-lirik Homicide. Ia paham, hidup ini di bawah cengkraman penguasa. Contohnya, upah buruh ditentukan oleh elit politik. Ia lalu mencari sejarah hiphop yang merupakan aliran musik yang menghajar sistem yang menindas.

Melalui lirik-lirik Homicide membuat ia berkenalan lebih jauh dengan buku-buku yang dicap kiri masa itu, antara lain buku karya Pramudya Ananta Toer yang sangat sulit dicari. Kalaupun ada, harganya sangat mahal sekali.  “Kalau sekarang kan banyak di toko buku,” katanya.

“Dari Homicide saya mendapatkan banyak hal baru yang teramat mencerahkan dan memotivasi bahwa hidup ini tak biasa-biasa saja,” kata Lingga.

Lirik-lirik Homicide, lanjut dia, memadukan sastra dan bahasa preman. Lagi-lagi ia mengacu pada album Nekrophone Dayz. “Liriknya begitu metanaratif, banyak catatan kakinya. Di lagu Puritan bahkan sampai 200 catatan kakinya,” kata dia.

Kredit

Bagikan