Bakteri pendeteksi kanker hati bermanfaat bagi pertanian

user
Farah Fuadona 06 Januari 2016, 16:18 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Biosensor Aflatoxin diharapkan bermanfaat bagi sektor pertanian. Sejauh ini produk kacang-kacangan seperti padi, jagung, kacang di Indonesia dideteksi dengan peralatan mahal. Tidak jarang banyak produk pertanian yang tidak terdeteksi. “Penelitian ini diharapkan bisa menghindari Aflatoxin yang merupakan penyebab kanker hati,” kata peneliti Biosensor Aflatoksin ITB, Ari Dwijayanti, kepada Merdeka Bandung, Rabu (6/1).

Perempuan yang S1 dan S2-nya diraih di ITB ini mengatakan, kacang-kacangan yang mengandung aflatoksin tidak boleh lagi dikonsumsi. Akumulasi aflatoksin dalam tubuh manusia dapat memicu terjadinya kanker hati.

Biosensor aflatoksin, kata dia, dibuat dengan pendekatan ilmu biologi sintetis, ilmu yang sudah berkembang pesat di luar negeri namun relatif baru di Indonesia.
 
Tim meneliti dan merekayasa bakteri E coli. Produk penelitiannya disebut Biosensor Aflatoksin yang berisi bakteri pendeteksi Aflatoksin. Biosensor tersebut ditransfer lewat suntikan ke sampel penelitian, yakni kacang-kacangan yang sebelumnya dimasukan ke dalam wadah yang sudah diberi larutan.
 
“Setelah disuntik, sampel normal akan berwarna kuning keruh. Sedangkan sampel yang mengandung aflatoksin akan berwarna hijau. Makin hijau sampelnya makin tinggi kandungan aflatoksinnya,” terangnya.
 
Ari menambahkan, cara kerja biosensor dirancang sederhana untuk memudahkan petani dalam pengoperasiannya. Sebab, penelitian sendiri berprinsip mempermudah mendeteksi aflatoksin.
 
“Kita desain semudah mungkin. Hasilnya juga bisa dilihat kasat mata. Jadi tidak perlu alat canggih dan rumit,” katanya.
 
Penelitian ini bukan untuk membunuh jamur penyebab munculnya Aflatoksin, melainkan untuk mendeteksi saja. Sehingga penelitian ini secara tidak langsung memberikan tantangan pada ilmu teknologi pascapanen agar mampu mengelola hasil panen.
 
“Ilmu teknologi pascapanen harus meneliti bagaimana supaya kacang-kacangan tersebut tidak ditumbuhi jamur Aflatoksin,” katanya.
 
Dengan kata lain, penelitian teknologi pertanian membutuhkan kerja sama dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian aflatoksin sendiri dilakukan tim yang terdiri dari mahasiswa berbagai disiplin ilmu.
 
Mereka adalah Ari Dwijayanti yang saat ini menempuh program doktor Sintetis Biologi di Imperial College London, Inggris, Dimas Dwi Adiguna (Teknik Kimia), Nuke Ayu Febriana (Mikrobiologi), Indra Rudiansyah (Rekayasa Hayati) dan Riandy Rahman N. (Teknik Informatika) dengan dosen pembimbing dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB, Maelita Ramdani M dan Sony Suhandono.

Kredit

Bagikan