Cerita pengusaha jatuh bangun merintis usaha alat musik bambu
Bandung.merdeka.com - Indonesia Bamboo Community (IBC) saat ini menjadi salah satu produsen alat musik bambu yang cukup dikenal di Bandung. Beragam produknya seperti gitar, bass, biola, drum, gambang, saxophone yang semuanya terbuat dari bambu, kini tak hanya dikenal di dalam negeri saja, namun telah sampai ke luar negeri. IBC bahkan telah mengekspor produknya ke 12 negara seperti Meksiko, Amerika Serikat, Belgia, Perancis, Yunani, Inggris Jepang dan negara lainnya.
Adang Muhidin mulai merintis IBC pada tahun 2011 bersama Abah Yudi Rahmat. Adang dipertemukan dengan Abah Yudi dalam sebuah acara pagelaran musik di Saparua Bandung pada tahun 2010. Sebelumnya Adang yang bergabung dengan komunitas angklung melihat abah Yudi memainkan alat musik dari bambu. Uniknya alat musik bambu yang dimainkan dengan cara digesek.
"Pas 2010 di Saparua, saya dari komunitas angklung kebetulan ikut di situ. Setelah Abah Yudi tampil kemudian kita ngobrol. Nah dari situ mulai berpikir kayanya bagus kalau jadi biola dari bambu. Kemudian tahun 2011 awal memutuskan keluar dari komunitas angklung dan mendirikan IBC bersama Abah Yudi pada 30 April 2011," ujar Adang kepada Merdeka Bandung, Kamis (26/11).
Adang yang memiliki basic ilmu material dan Abah Yudi yang merupakan pengrajin bambu mulai membuat alat-alat musik yang terbuat dari bambu. Awalnya hanya gitar dan biola yang dibuat. Itu pun dengan bentuk yang masih seadanya dan belum sempurna seperti saat ini.
"Untuk lebih mengenalkan alat musiknya, kami sering perform di CFD dan tempat-tempat keramaian untuk menarik minat masyarakat terhadap alat musik bambu ini. Tapi masyarakat belum tertarik saat itu," ucap pria kelahiran Bandung 21 Februari 1974 ini.
IBC kemudian bergabung dengan IBS (Indonesian Bamboo Society) pada November 2011. IBS sendiri merupakan perkumpulan bambu yang telah ada sejak lama di Bandung. IBC kemudian melebur dengan IBS. Mereka sepakat dengan membawa nama IBS.
"Jadi waktu kami jalan-jalan ke daerah Cibeureum, ternyata ada museum bambu. Dari situ kami menjalin silaturahmi dengan IBS. Dan akhirnya pada 11 November 2011 IBC melebur jadi IBS," kata Adang.
Dengan bermodal nekat, Adang bersama IBS kemudian mulai mengikuti acara- acara pameran. Salah satu pameran yang diikuti yakni sebuah acara pameran produk bambu yang digelar di Graha Manggala Siliwangi pada Desember 2011. Saat itu mereka harus membayar biaya sewa stand sebesar Rp 6 juta. Karena tidak memiliki biaya untuk menyewa stand mereka menggantinya dengan pertunjukan musik bambu.
"Jadi waktu itu kita nego sama panitianya. Kalau perform kita jelek kita bayar, tapi kalau bagus biaya sewa stand diganti sama perform. Dan waktu itu kami sudah siap siap kabur kalau perform kita jelek," ujar Adang berseloroh.
Namun penampilan mereka rupanya banyak menyedot perhatian penonton. Tak hanya itu stand mereka pun banyak dikunjungi oleh para penonton. "Panitia sampai bilang makasih dan kita ga jadi kabur," ucap Adang .
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2012, IBS mulai dikenal masyarakat. Buktinya pada tahun IBS diundang ke berbagai acara. Salah satunya seperti di Java Jazz Festival 2012. IBS diudang oleh Kementerian Perdagangan untuk tampil dan menggelar membuka stand di sana.
Kepopuleran IBS rupanya menimbulkan konflik internal. Hingga akhirnya Adang bersama Abah Yudi memutuskan keluar dari IBS. Adang kembali membangun dari awal dengan nama semula Indonesian Bamboo Community (IBC)
"Saya dan Abah keluar dari IBS Agustus 2012. Jadi ada empat orang yang ikut keluar. Kita bangun dari nol lagi," kata Adang.
Bagai mendapatkan durian runtuh, di tengah situasi yang sedang tidak menguntungkan, Adang dihubungi oleh salah satu pegawai Kementerian Perdagangan untuk mengikuti acara pameran Wahana Kreatif 2012. Namun yang membuat cukup menyesakkan, saat itu IBC tidak memiliki instrumen alat musik. Dengan modal seadanya mereka membuat alat alat musik dari bambu seperti gitar, biola dan bass bambu. Tak kehabisan akal mereka akhirnya meminjam alat-alat musik untuk penampilan mereka.
"Ya akhirnya dengan modal seadanya, kita buat gitar, bass dan biola. Kita pinjam jimbe, pinjem angklung, arumba ke Museum Sri Baduga saat itu," kata pria yang menamatkan kuliah S2 nya di Fachhochschule Sudwestfalen Iserlohn Jurusan Korrosionschuttechnic Jerman ini.
Setelah selesai dari acara itu, uang hasil dari pertunjukan Adang gunakan untuk mengembangkan IBC. Sejak saat itu Adang bersama teman lainnya mulai kembali membuat alat alat musik bambu. Saat itu juga menjadi momen kebangkitan IBC.
IBC kemudian mendapatkan undangan untuk mengikuti acara Java Jazz Festival 2013. IBC diundang untuk tampil dan mengelar pameran. Sejak saat itu nama IBC terus menanjak dan dikenal. Termasuk diundang untuk tampil di sejumlah TV nasional. Tak hanya itu, mereka juga diundang di berbagai acara pameran berskala nasional dan internasional. Bahkan IBC diundang tampil di Singapura
Kepopuleran, rupanya kembali membuat gejolak di internal IBC. Hingga akhirnya IBC bubar pada November 2013.
"Jadi waktu itu ada gejolak. Sebagian ada yang berpikir ingin terus tampil dengan perform musik, sementara saya berpikir mending ke pengembangan alat musiknya dulu. Sampai akhirnya IBC bubar pada November 2013. Di situ saya mengajukan opsi kalau mau ikut tanggal 15 Desember silakan datang. Tapi ternyata tidak ada yang datang dan IBC sempat vakum," kata Adang.
Setelah itu, IBC hanya menyisakan empat oramg yakni Adang, Abah Yudi, Vino, Apid. Adang kemudian membangun IBC dari awal lagi. Tak ingin kejadian terulang, Adang mulai melakukam penataan di IBC
"Awal 2014 masing masing fokus pada tugasnya. Apid fokus di musik. Vino fokus di produksi. Apid ngarangkul orang-orang di musik untuk perform. Sampai akhirnya terbentuk grup D'bamboo essential," katanya.
Januari 2014 menjadi titik awal kebangkitan kedua IBC. Orderan pembuatan alat musik mulai berdatangan. Hingga akhirnya mereka berpikir untuk kembali membuat nama IBC kembali mencuat dengan membuat gebrakan. Pada April 2014 mereka membuat acara pemecahan rekor MURI yakni pagelaran alat musik bambu terbanyak di dunia dengan 41 jenis alat musik bambu dan 428Â pemain.
"Waktu itu targetnya hanya 300 orang. Kita menyebarkan undangan sampai Filipina, Inggris, China, Singapura. Mereka pun datang ke Bandung. Di luar perkiraan ternyata ada 428 pemain yang datang. Acara itu diliput media-media internasional dari Inggris, Singapura. Sampai foto-foto acara itu menyebar ke seluruh dunia. Dari situlah mulai menyebar ke seluruh dunia," kata bapak dari dua anak ini.
Sejak saat itu undangan untuk tampil di luar negeri mulai berdatangan. Salah satunya dari Malaysia pada Januari 2015. Tak hanya itu pesanan alat musik bambu dari luar negeri pun mulai banyak seperti Prancis, Belgia, Meksiko, Yunani, Amerika Serikat, Inggris, Jepang.
"Dari situ kami berpikir bahwa pangsa pasar IBC itu luar negeri bukan Indoensia. Untuk menjaga harga kami membatasi pengiriman barang. Kami hanya mengeluarkan 3 unit bigband dalam satu bulan. 1 unit bigband ini terdiri dari gitar, bass, biola, drum, satu set alat tiup, gambang, angklung," ujarnya.