Indonesia butuh banyak inkubator bisnis guna wujudkan ide kreatif
Bandung.merdeka.com - Kawula muda Indonesia dikenal memiliki segudang ide kreatif. Namun, tahukah Anda bila mayoritas ide kreatif itu tak bisa diwujudkan? Nyatanya memang begitu. Menurut riset empiris, sebanyak 70 hingga 90 persen ide kreatif tidak bisa berubah menjadi inovasi bisnis.
Mentor program Indigo.id sekaligus pakar manajemen strategi, Didit Herawan, mengatakan riset empiris menunjukkan bahwa ide kreatif sulit menjadi inovasi bisnis karena kelemahan ekosistem pendukung.
"Untuk itu, hal yang sangat penting di Indonesia adalah membangun banyak inkubator bisnis dalam usaha menumbuhkan startup seperti Indigo.id ini. Program inkubator seperti Indigo.id ini layaknya inkubator di rumah sakit saja," ujar Didit kepada Merdeka Bandung, Sabtu (4/2).
Lebih jauh Didit menjelaskan, inkubator yang dimaksud layaknya di rumah sakit dimana alat tersebut membantu bayi untuk hidup. Inkubator bisnis membantu startup untuk dapat tumbuh berkembang menjadi bisnis besar karena memberi ekosistem inovasi bagi tumbuh dan berkembangnya startup.
Eks Country Director Motorola Network Indonesia ini menjelaskan, sudah seharusnya dalam hal ini pemerintah ambil bagian dengan mendorong tumbuh kembangnya program seperti Indigo.id. Pasalnya, ini bisa menjadi terobosan dan transformasi bagi bisnis banyak perusahaan mapan.
Misalnya saja, kata dia, PT Telkom. Dengan program inkubasi tersebut, maka melangkah lebih cepat dibanding perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dalam mendorong kewirausahaan dari segala penjuru, baik dari dalam korporasi maupun luar.
"Di sisi lain, Indigo.id memiliki keunggulan sumber daya berupa jejaring bisnis Telkom di tingkat nasional maupun internasional, sehingga mencakup dalam sebuah ekosistem pendukung pertumbuhan startup. Tren dunia sudah mengarah digitalisasi di semua aspek kehidupan," ujarnya.
Indonesia harus terus mengikuti India yang telah melaju cepat dalam digitalisasi dan penyebarluasan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Program inkubator relevan dengan visi pemerintah menjadikan Indonesia ekonomi digital terbesar di Asean tahun 2020.
Alumnus doktoral manajemen UI ini mengatakan, umumnya startup di tanah air sangat memerlukan mentor yang mudah dihubungi, memiliki wawasan luas, memiliki pengalaman panjang dalam bisnis, dan memiliki jejaring yang baik. Dengannya, dapat mengarahkan penyelesaian masalah dengan lebih komprehensif.
Selain itu, usaha rintisan ini juga membutuhkan segera kemampuan mengenal ekosistem global yang lebih kondusif, bukan sekedar ekosistem lokal yang masih dirasa membatasi gerak startup.
Budaya inovasi di negara maju sangat berbeda karena sangat memudahkan dibandingkan budaya dan lingkungan inovasi di Indonesia. Peran teknologi internet membantu mempersempit jurang perbedaan, sehingga pemanfaatannya haruslah menjadi bagian dari strategi pengembangan startup.
Startup, sambung dia, memerlukan itu semua karena mereka umumnya punya ide dan kemampuan teknis yang kuat namun lemah dalam kemampuan manajemen implementasi.