Sistem penerimaan siswa baru di Kota Bandung harus dievaluasi
Bandung.merdeka.com - Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Kota Bandung sudah selesai, namun menyisakan sejumlah pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah Kota Bandung.
Pegiat Komunitas Pendidikan Kalyanamandira, Ben Satriana, mengatakan permasalahan PPDB harus dievaluasi. Sehingga kesalahan atau masalah serupa tidak berulang pada PPDB tahun depan.
Menurut dia, permasalahan yang muncul terjadi pada PPDB di level SD ke SMP dan SMP ke SMA. "Faktanya jumlah SMP dan SMA di Bandung sedikit, harus menyaring banyak calon siswa," kata Ben Satriana di Bandung baru-baru ini.
PPDB di Bandung diselenggarakan berdasarkan dua saluran, yakni akademis dan non-akademis. Saluran non-akademis terdiri dari jalur prestasi, jalur tidak mampu dan jalur yang diakomodir undang-undang.
"Semua calon siswa non-akademis tak diseleksi secara akademis. Kalau jalur prestasi diseleksi berdasarkan prestasinya. Begitu juga calon siswa tak mampu. Sedangkan anak guru, aparat, difabel masuk ke undang-undang," ujarnya.
Untuk PPDB non-akademis, faktor jarak rumah siswa dengan sekolah tujuan juga sangat menentukan diterima sekolah. Masalah muncul pada calon siswa tak mampu atau istilahnya Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP).
Kriteria miskin harus masuk pada database Pemkot Bandung yang disahkan dalam Peraturan Wali Kota Bandung tentang PPDB. "Pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) di antaranya masuk ke Perwal ini," katanya.
RMP berhak memiliki sekolah negeri terdekat. Jarak terdekat akan diprioritaskan untuk diterima sekolah. Kalau sekolah negeri tersebut sudah penuh, maka siswa RMP bisa masuk ke swasta dengan jaminan pembiayaan.
"Namun masalahnya jumlah RMP tak merata, sehingga kuota-kuota di sekolah ada yang tidak penuh. Misalnya untuk sekolah di tengah kota RMP-nya kurang, sedangkan di daerah lain kelebihan," tuturnya.
Ia mencatat, ada 3.000-an siswa yang tak bisa masuk ke SMP dan SMA negeri sesuai kriteria Perwal PPDB. Sehingga mereka seharusnya diterima sekolah swasta.
"Ketika mereka ke swasta, ada yang ditolak sebab jaminan pembiayaannya tak jelas. Aturannya juga tak jelas. Sampai sekarang kita belum tahu berapa dari 3000-an siswa itu yang sudah disalurkan," ungkap Ben.
Mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri yang masih kosong karena khawatir melanggar Perwal. Sebab dalam Perwal disebutkan ketika kuota RMP kosong maka menjadi jatah jalur akademis.
Namun belakangan Pemkot Bandung mengizinkan siswa tersebut agar masuk ke sekolah swasta ataupun negeri yang kuotanya masih kosong. "Jadi sisa yang tidak masuk dilimpahkan ke sekolah lain. Sehingga ini justru melanggar Perwal sendiri," katanya.