Radio dan televisi punya tafsir berbeda soal istilah konten lokal

Oleh Mohammad Taufik pada 19 Juni 2016, 10:44 WIB

Bandung.merdeka.com - Undang-undang 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mewajibkan radio melakukan penguatan kebudayaan lokal. Sehingga kebudayaan lokal tidak terlindas globalisasi.

Namun definisi konten lokal sendiri masih multitafsir. Antara teks Undang-undang dan pelaksanaan penyelenggara penyiaran (radio dan televisi) kurang nyambung.

"Dalam Undang-undang Penyiaran definisi kearifan lokal tak dijelaskan," kata peneliti Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba), Nursyawal, kepada Merdeka Bandung.

Sehingga terjadi pemahaman yang berbeda terhadap konten lokal. Di regulasi yang dimaksud konten lokal adalah budaya lokal yang ada di tempat radio atau televisi melakukan siaran.

Misalnya budaya lokal yang harus diangkat radio atau televisi di Bandung adalah budaya Sunda. Sementara radio di Bandung mengklaim isi siarannya sudah lokal karena tempat siarannya di Bandung.

"Mereka siaran di Bandung justru untuk melayani selera orang Bandung. Dengan begitu mereka merasa telah mempraktikkan konten lokal sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang," papar Nursyawal.

Jadi, lanjut dia, ada perbedaan definisi soal konten lokal. Solusinya harus ada definisi yang jelas tentang kewajiban konten lokal. Caranya, kata dia, perlu revisi Undang-undang.

"Sebenarnya yang direvisi tidak harus Undang-undangnya, tapi bisa di P3SPS atau Peraturan Menterinya," kata dosen Stikom Bandung ini.

P3SPS adalah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang menjadi alat bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi isi siaran oleh radio maupun televisi (lembaga penyiaran). P3SPS juga sebagai standar dalam memproduksi isi siaran oleh lembaga penyiaran.

Sementara Komisioner KPID Jawa Barat Mahi M Hikmat membenarkan jika budaya lokal yang dimaksud dalam Undang-undang Penyiaran terlalu umum. Budaya lokal yang dimaksud adalah budaya Indonesia. Padahal tiap daerah di Indonesia memiliki budaya atau kearifan lokal sendiri-sendiri. "Selama ini konten lokal ya konten Indonesia yang terjadi," ujarnya.

Menurut dia memang perlu ada revisi atau penjelasan terkait definisi konten lokal. Lewat revisi itu KPID Jabar berharap punya kewenangan lebih, antara lain mengatur porsi konten lokal untuk lembaga penyiaran di Jawa Barat.

"Mudah-mudahan KPID punya regulasi untuk radio dan televisi di Jabar berapa persen harus menayangkan program kesundaannya," katanya.

Tag Terkait