'Belajar membatik susah, pantas harganya mahal'
Bandung.merdeka.com - Membuat batik tentu berbeda dengan saat mengenakan. Ketika membuat, ada proses yang panjang dan memerlukan kesabaran. Hal ini dialami siswi kelas 12 SMA Santo Aloysius Bandung, Lea Florencia Kurnia (18).
Lea merupakan satu dari 2.500 murid Santo Aloysius Bandung yang membuat batik untuk dijadikan seragam sekolah. Proses membatik Santo Aloysius Bandung dicatat sebagai rekor dunia oleh Museum Rekor Indonesia (Muri), Senin (22/2).
"Kita membatik terkait pelajaran membatik sekolah. Ternyata membatik susah banget. Tapi dengan membatik sendiri kita jadi paham, pantas harga batik mahal, karena buatnya juga susah," kata Lea, kepada Merdeka Bandung, di sela upacara pencatatan rekor Muri.
Untuk membuat batik sendiri, masing-masing siswa mendapat kain, canting, kompor dan lilin. Setelah menyimak mata pelajaran membatik dari guru, para siswa diminta mempraktikkannya.
"Praktik membatik bagus sekali untuk mengenal budaya kita sendiri. Memang susah bikinnya, tapi kita jadi lebih menghargai budaya yang ada,â timpal Lea.
Sekolah Santo Aloysius merupakan sekolah yang dikembangkan Yayasan Mardiwijana Bandung dan Yayasan Satya Winaya. Ketua Yayasan, Sherly Iliana, mengatakan pelajaran membatik diharapkan menumbuhkan kecintaan generasi muda pada batik yang merupakn warisan budaya.
Proses membatik tersebut diikuti 2.500 murid Sekolah Santo Aloysius yang ada di tiga lokasi di Bandung, yakni Sukajadi, Sultan Agung dan Batununggal.
"Kami di sini bukan hanya mendidik murid secara intelektual, tapi kami kembangkan kesadaran dan kepedulian," katanya seraya menambahkan peristiwa pencatatan rekor Muri sebagai pembelajaran bersama dalam mencintai budaya dan kearifan lokal.