LGBT, apakah penyakit atau bukan?

Oleh Muhammad Hasits pada 20 Februari 2016, 16:32 WIB

Bandung.merdeka.com - Lesbian, gay, biseksual dan transgender/transeksual (LGBT) sering kali disebut sebagai penyakit atau kelainan jiwa. Terlebih jika dilihat dari sudut pandang agama atau budaya yang kebanyakan menolak kehadiran LGBT.

Psikiater Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dr. Teddy Hidayat, SpKJ (K) mengatakan, melihat isu LGBT mesti dengan pikiran jernih. Begitu juga saat menjawab pertanyaan apakah LGBT penyakit atau bukan?

“Sebelum bicara sakit atau bukan, kita jawab apakah LGBT ini normal atau tidak normal. Tapi sebelum lebih lanjut pendapat ini tidak boleh dibenturkan dengan norma atau kepercayaan, kita harus mencoba menjernihkan pikiran kita melihat, baru mendudukannya,” terang Teddy, saat berbincang dengan wartawan di Bandung.

Mantan Kepala Psikiater RSHS yang lama berkecimpung di bidang kecanduan narkoba dan HIV/Aids itu menjelaskan, ukuran normal dan tidak normal di antaranya bisa dilihat dari statistik. Jika angkanya hanya 30 persen, maka kelompok LGBT termasuk minoritas. Jadi secara statistik di luar angka normal.

Di sisi lain, kata dia, tidak ada kultur, agama atau kepercayaan yang menerima LGBT. Begitu juga di Indonesia. “Secara budaya memang ini sesuatu yang tidak normal,” katanya.

Bagaimana secara psikopatologi atau gangguan kejiwaan? Teddy menjelaskan gangguan jiwa adalah suatu kondisi stres atau menderita baik bagi pasien atau orang yang bersangakutan atau lingkungan keluarganya.

Contoh yang hangat saat ini adalah Saipul Jamil. Kini, tentu Saepul Jamil menderita karena kasus yang menimpanya. Namun sebelumnya, pedangdut ini tampak tidak menderita. Dia bisa menjalankan fungsi pekerjaan dan sosialnya.

Sebelum kejadian, kata dia, keluarga atau lingkungan Saipul Jamil tidak menderita. Saipul Jamil bisa bekerja, menghasilkan banyak uang, punya rumah dan mobil dan seterusnya.

Dengan kata lain, orientasi seksual Saipul Jamil tidak mengganggu pekerjaan dan lingkungannya. Begitu juga orientasi seksual LGBT umumnya tidak akan mengganggu pekerjaannya.

“Ada yang jadi menteri, bidang film, pejabat. Jadi kalau secara psikopatologi tidak bisa menyebut LGBT sebagai gangguan,” terangnya.

LGBT merupakan kependekan dari lesbian, gay, biseksual dan transgender/transeksual. Teddy kemudian menelaah gay atau homoseksual yang merupakan bagian dari LGBT. Dalam literatur gangguan jiwa, kata dia, ada homoseksual yang digolongkan sebagai penyakit, yaitu homoseksual ego distonik (ego-dystonic homosexuality).

Homoseksual ego distonik yaitu seseorang homoseksual yang menderita dengan homoseksualnya. Dia tidak mau dan tidak menerima dirinya homoseks. “Orang yang tidak menerima dirinya homo seksual inilah yang kita bilang penyakit,” katanya.

Namun homoseksual ego destonik ini sulit ditemukan. Ia sendiri selama praktik tidak pernah menemukan satu pun kasus homoseksual ego distonik atau homoseksual sebagai penyakit.

Bahkan di Amerika Serikat, homoseksual ego distonik sudah lama dihapuskan, yang ada adalah homo seksual ego sintonik, yakni orang yang menerima homoseksualnya, dia enjoy dengan homoseksualnya itu. Homoseksual ini kemudian disebut varisi.

Teddy menganalogikan homoseksual variasi dengan fungsi tangan. Kebanyakan orang menulis dengan tangan kanan, tetapi ada juga yang biasa menulis dengan tangan kiri. Orang yang biasa menulis dengan tangan kiri tidak bisa dikatakan sakit.

“Jadi homo seksual itu bukan penyakit, kecuali yang ego destonik. Tapi hampir semua homo seksual ego sintonik, dia bisa bahagia dengan perilaku itu,” katanya.

Konflik yang dialami homo seksual justru banyak muncul dari luar dirinya, yakni dari keluarga atau lingkungannya. Misalnya orang tua atau lingkungan mereka menekan, baru mereka mulai menderita.

Banyak teori yang menyebutkan sebab-sebab homoseksual atau LGBT. Teddy mengungkapkan, meski sampai hari ini belum ada teori yang pasti. Ia sendiri cenderung meyakini penyebab LGBT karena faktor biologis.

Faktor biologis terdiri dari faktor genentik, kemudian faktor hormonal terutama pada saat anak dalam kandungan. Teori lain adalah yang diungkapkan Sigmund Freud tentang perkembangan psikososial. Ada juga yang mengungkapkan teori pengalaman seksual masa kecil.

“Jadi ada beberapa penyebab homoseksual, kalau dia itu genetik ada kelainan di otak, di hormon, apakah salah dia? Apakah salah orang tuanya? Apakah dia patut dihukum, disigkirkan? Orang tuanya tidak ingin anaknya seperti itu, si anak tidak ingin seperti itu. Jadi kita harus beprikir jernih disana,” paparnya.

Korban pelecehan harus lapor

Menurut Teddy, selama ini korban pelecehan seksual, apalagi korban perkosaan, jarang yang berani melakukan pelaporan ke polisi. Ia mengungkapkan, dari 10 korban perkosaan hanya satu yang berani melaporkan ke polisi.

“Korban cukup dewasa, jadi berani. Dia tak suka diperlakukan seperti itu. Jadi bagus dilaporkan,” kata Teddy.

Menurutnya, korban yang usianya di bawah 17 tahun cenderung tidak berani melapor. Selain itu, banyak faktor yang memengaruhi korban pelecehan atau perkosaan untuk melapor.

Pertama, kata dia, bisa saja korban diancam. Sehingga korban mengkhawatirkan keselamatannya. Kedua, korban tutup mulut karena dijanjikan sesuatu, misalnya uang atau karier.

“Jadi banyak hal yang membuat korban tak mau melapor,” katanya.

Dalam kasus Saipul Jamil, ia juga mengingatkan kepada orangtua agar memberikan pendidikan seksual kepada anak. Tentu dengan cara-cara yang elegan.

“Dengan edukasi seks, anak harus diajarkan terbuka baik kepada orang tua maupun ke guru,” katanya.

Anak juga harus diberi pemahaman bagian-bagian tubuh yang tidak boleh dipegang orang lain. “Ajarkan kepada anak jika ada yang memegang bagian tubuhnya agar berteriak minta tolong,” katanya.