LIPI punya kursi roda canggih yang digerakkan lewat instruksi otak

Oleh Mohammad Taufik pada 10 Februari 2016, 12:58 WIB

Bandung.merdeka.com - Masih ingat I Wayan Sutawan alias Tawan yang dijuluki 'Iron Man' dari Bali? Pria itu beberapa waktu lalu membuat heboh publik terkait temuan robot lengannya. Dia mengklaim robot lengannya digerakkan oleh teknologi Electro Encephalo Graphy (EEG). Meskipun belakangan teknologi lengan robot milik Tawan itu belum bisa dibuktikan kesahihannya.

Lupakan berita soal si 'Iron Man' dari Bali. Sekarang saatnya membahas teknologi masa depan EEG yang tengah dikembangkan para teknokrat saat ini. Rupanya, sudah sejak lama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah mengembangkan teknologi tersebut.

Peneliti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI yang mendalami teknologi EEG, Arjon Turnip, mengatakan teknologi ini pada dasarnya merekam segala aktivitas elektrik di sepanjang kulit kepala yang berbasis pada sinyal otak.

"Intinya, EEG mengacu pada perekaman aktivitas elektrik secara spontan dari otak selama periode tertentu, yang direkam dari banyak elektroda yang dipasang di kulit kepala," terang Arjon kepada sejumlah media beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, LIPI telah berhasil mengaplikasikan teknologi tersebut melalui hasil riset kursi roda elektrik berbasis teknologi sinyal otak atau EEG. "Teknologi kursi roda elektrik ini bisa digunakan untuk mempermudah penyandang disabilitas dalam menggerakkan dan mengendalikan kursi roda melalui otak," ujarnya.

Peneliti UPT Balai Pengembangan Instrumentasi lainnya yang juga anggota Tim Penelitian, Agung Suhendra, mengatakan prinsip kerja kursi roda eletrik ini yakni, pengguna duduk di kursi roda memakai EEG berupa tutup kepala kain terhubung dengan penguat gelombang listrik di belakang kursi lewat kabel-kabel. Penguat atau amplifier memungkinkan sinyal terbaca dan diterjemahkan sebagai perintah gerak kursi roda.

Agung menjelaskan, bagian EEG yang menempel pada kulit belakang kepala merupakan elektroda yang berfungsi untuk mendapatkan sinyal listrik dari korteks otak besar. "Karena hanya menempel atau non-invasif (alat tak perlu ditanamkan ke bagian tubuh), EEG sangat aman," ujarnya.

"Gel disuntikan ke EEG agar penghantaran listrik lancar dari otak ke elektroda," terang Agung menegaskan.

Selanjutnya, pengguna melihat layar komputer jinjing di pantauannya. Kursi roda berjalan dan berkeliling, menyesuaikan dengan gambar kotak yang dilihat. Empat gambar kotak berkedip dengan jumlah kedipan berbeda-beda pada komputer jinjing.

Layar komputer jinjing akan memperlihatkan kotak kiri berkedip 6 kali per detik (6 Hertz/Hz), kotak kanan 7 Hz, kotak atas 8 Hz, dan kotak bawah 9 Hz. "Jika pengguna melihat kotak kiri, alat akan menangkap frekuensi sinyal listrik dari otak juga 6 Hz dan akan diterjemahkan sebagai perintah bagi kursi roda untuk belok kiri. Ini berlaku untuk kotak-kotak lainnya," papar Agung.

Menurut dia, akurasi penerimaan sinyal listrik dari otak dalam sains kognitif di seluruh dunia masih rendah, tertinggi 40 persen. Sinyal otak mudah berubah, antara lain jika terganggu gerakan anggota tubuh, tolehan, atau keramaian. Pengembangan sistem pengendalian kursi roda itu baru setahun dan untuk sampai tahap sebelum produksi massal, masih perlu dua hingga tiga tahun lagi.

Tag Terkait