Geliat tradisi sastra Tionghoa-Indonesia di Bandung

Oleh Mohammad Taufik pada 02 Februari 2016, 14:03 WIB

Bandung.merdeka.com - Sastra Tionghoa – Indonesia sudah eksis sejak awal abad ke-20. Gejolak politik sempat membuat geliat Sastra Tionghoa – Indonesia tersendat. Kini zaman telah berubah. Di Bandung sendiri kini ada Kelompok Pecinta Sastra (KPS) yang berusaha menghidupkan semangat sastra untuk generasi muda.

KPS adalah kelompok yang aktif melakukan kajian sastra Tionghoa-Indonesia dan sastra Tionghoa-Sunda dengan semangat pembauran dan nasionalisme. KPS Bandung merupakan bagian dari Perhimpunan Penulis Tionghoa-Indonesia (Yin Hua).

Aktivitas KPS Bandung sangat beragam, tapi kajian rutinnya di bidang sastra. Salah satu tokoh penting KPS Bandung adalah Soeria Disastra. Pria kelahiran Bandung 1943 ini menuturkan, pegiat sastra di KPS saat ini sekitar 10 orang.

Menurut dia di Indonesia diperkirakan jumlah sastrawan Tionghoa mencapai 200 orang. Mereka terutama berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Pontianak. Bandung sendiri dulunya menjadi salah satu kota yang banyak berdiri pusat pendidikan Tionghoa.

"Kota-kota ini banyak memiliki sastrawan Tionghoa karena terkait sejarah. Dulu pusat pendidikan Tionghoa banyak berdri di Bandung, Surabaya, dan Medan. Jadi banyak menerima siswa dari daerah lain di Indonesia," terang Soerya yang menjadi editor rubrik sastra di harian internasional Guo Ji Ri Bao.

Lewat KPS Bandung, Soeria dan para pegiat lainnya ingin melanjutkan tradisi sastra Tionghoa yang hidup di Indonesia.
Kritikus sastra Jacob Soemardjo pernah menulis, sejak awal abad ke-20 sastra Melayu-Tionghoa sudah eksis di nusantara. Bahkan sesudah merdeka, Pramoedya Ananta Toer menegaskan bahwa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesastraan baru (Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Drama di Boven Digoel, karya Kwee Tek Hoay, KPG, 2011).

Soeria melanjutkan, pada masa Orde Baru tradisi kesusastraan Tionghoa-Indonesia sempat tersendat. Selama lebih dari 30 tahun masa Orde Baru, perkembangan sastra Tionghoa-Indonesia seperti mati suri. Aktivitas sastra warga keturunan Tionghoa di Indonesia nyaris terputus.

"Generasi sekarang mungkin banyak yang tidak tahu bahwa dulu ada sastra Tionghoa eksis di sini," kata pria yang pemilik nama Tionghoa Bu Ru Liang ini yang di masa Orde Baru menerjemahkan buku Priangan Si Jelita karya Ramadan KH ke bahasa Mandarin.

Lewat KPS diharapkan tradisi sastra Tionghoa-Indonesia hidup kembali, terutama bagi kalangan anak muda yang merupakan generasi penerus.

Baginya, sastra yang ditulis orang-orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia, otomatis menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia atau disebut juga sastra Indonesia-Tionghoa. Sastra Tionghoa-Indonesia adalah bagian dari kekayaan sastra-satra daerah di Indonesia seperti sastra Sunda, sastra Batak, sastra Jawa, sastra Bali, dan lain-lain.

Pandangan Soeria tersebut sejalan dengan UUD45, bahwa kebudayaan merupakan hasil dari refleksi orang-orang Indonesia. Kelompok etnis yang ada di negeri ini adalah bagian dari Indonesia di mana setiap etnis menghasilkan produk kebudayaan yang khas, termasuk sastra.

Tag Terkait