Jadi tuan rumah, 70 negara akan ikuti Global Land Forum 2018 di Bandung

Oleh Endang Saputra pada 13 September 2018, 14:55 WIB

Bandung.merdeka.com - Kota Bandung dipercaya menjadi tuan rumah pertemuan dunia terkait pertanahan yakni Global Land Forum (GLF) 2018. Acara forum tingkat dunia ini rencananya akan digelar pada 22-27 September mendatang.

Ketua Panitia Nasional Global Land Forum Iwan Nurdin mengatakan, dalam forum tiga tahunan ini akan banyak permasalahan yang dibahas. Mulai dari pertanahan, sumber daya alam, pertanian, pangan pembangunan pedesaan, perempuan, masyrakat adat, perubahan iklim hingga teknologi informasi terkait pengelolaan tanah.

"Ada tiga hal penting yang harus dibahas, satu tentang penyelesaian tentang konflik agraria. Kedua soal pembangunan pedesaan dan ketiga soal reformasi agraria itu sendiri, yaitu tata cara bagaimana ketimpangan tanah itu berakhir, Di Indonesia itu banyak sekali konflik agraria, KPA itu mencatat setiap tahun ada 657 konflik tahun lalu. Kalau luasan kira-kira lebih dari 500 ribu hektar , setiap tahun konflik agraria meningkat tapi proses penyelesaiannya itu tidak bisa kita sebut berhasil," ujar Iwan kepada wartawan di Taman Sejarah, Kamis (13/9).

Menurut dia, Kota Bandung didapuk sebagai tuan rumah setelah sebelumnya gelaran tersebut diselengarakan di Roma, Santa Cruz, Entebbe, Kathmandu, Tirana, Antigua, dan Dakkar. Kota Bandung terpilih karena dinilai mampu membawa semangat kemerdekaan bangsa bangsa Asia dan Afrika. Selain itu, khususnya Indonesia dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tamah, serta adanya kemajuan politik pemerintah mendorong proses pengakuan hak atas tanah melalui reforma agraria dan penyelesaian konflik.

Sebanyak 70 negara dengan 900 peserta akan hadir pada GLF tahun ini yang mengusung tema 'United for Lands Rights, Peace dan Justice'. Tema tersebur bertujuan untuk mempromosikan tata kelola pertanahan untuk mengatasi ketimpangan, kemiskimam, permasalahan konflik, HAM dan pembangunan pedesaan.

"Hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia itu kita mengalami apa yang namanya perampasan tanah, fenomena land grabbing. Khusus di Indonesia itu karena ada tipikal investor yang diundang ke Indonesia itu tipikal investor rakus tanah, yaitu untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan pertambangan atau tipikal investor yang membutuhkan lahan tanah kemudian proyeknya membutuhkan konversi lahan luas, misalnya proyek jalan tol yang mengkonversi lahan pertanian atau membuka kota baru tanpa ada perencanaan yang baik. Hal demikian telah mengakibatkan konflik agraria, sehingga kita mendorong adanya peace dan justice sehingga ketimpangan agragria itu teratasi," katanya.

Tag Terkait