Hingga awal 2017 anak-anak Indonesia masih rentan terabaikan

Oleh Mohammad Taufik pada 31 Januari 2017, 10:58 WIB

Bandung.merdeka.com - Direktur Kampanye dan Advokasi Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC), Nyoman Iswarayoga mengatakan, hingga awal` 2017 statistik menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia masih rentan terabaikan khususnya oleh orang-orang terdekatnya sendiri.

YSTC yang merupakan mitra dari Save the Children berupaya untuk terus bisa memastikan kesehatan anak-anak sejak dini, kesempatan untuk belajar dan perlindungan terhadap bahaya. Pihaknya berupaya melakukan apapun untuk anak-anak setiap hari dan disaat krisis guna mengubah hidup mereka dan masa depan.

"Terlepas dari upaya yang dilakukan berbagai pihak memiliki kepedulian dalam perlindungan anak, kejadian yang memposisikan anak sebagai pihak dirugikan masih terlalu banyak kita temukan di sekeliling kita. Ini merupakan potret dari kondisi anak di Indonesia hingga saat ini," ujar Nyoman, Senin (30/1).

Sampai dengan pergantian tahun 2016 ke 2017, anak Indonesia ternyata masih dalam kondisi rentan sebagai korban atas berbagai perlakuan fisik dan psikologis yang berpotensi mengancam masa depan mereka.

Catatan dari sembilan Pusat Dukungan Anak dan Keluarga (PDAK) di Jawa Barat, Yogyakarta, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga November 2016 saja ada setidaknya 1.376 kasus anak dari berbagai jenis yang dilaporkan dan atau ditangani sejak 2010.

"Dari semua kasus tersebut 67,8 persen di antaranya merupakan anak yang diabaikan. Kasus-kasus yang menyangkut anak diabaikan dapat dikenali dengan ditelantarkan, putus sekolah, tidak memiliki akte kelahiran atau ditempatkan di panti asuhan," jelasnya.

Nyoman menjelaskan, pengabaian seringkali tak terangkat karena sifatnya yang samar, padahal pengabaian sesungguhnya juga adalah salah satu bentuk kekerasan. Sementara itu, kasus-kasus lain yang menimpa anak terus bermunculan dalam berita, seperti kekerasan yang tereskalasi sehingga mengakibatkan kematian.

Dengan demikian, anak Indonesia sesungguhnya sedang berhadapan dengan suatu situasi krisis multi dimensi yang hanya dapat diurai melalui program intervensi yang tepat, bersama dengan dasar regulasi yang harus terus didorong perwujudannya.

Pengasuhan berbasis keluarga

Angka pengabaian pada anak hingga saat ini masih tergolong tinggi. Untuk itu, YSTC mitra dari Save The Children mengajak masyarakat untuk mencegah pengabaian dengan cara menerapkan pengasuhan berbasis keluarga.

Direktur Program Families First Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Tata Sudrajat mengatakan, dengan cara pengasuhan anak berbasis keluarga ini diharap bisa semakin memastikan perlindungan terhadap anak.

"Kami sedang mengedepankan sistem pengasuhan yang memastikan kelekatan anak dengan orangtua, kesejahteraan diri, keselamatan anak, permanensi, dan kejelasan akan status hukum anak," ujar Tata di tempat sama.

Tata menjabarkan, pengasuhan menjadi faktor mendasar bagi seorang anak, karena itu menyangkut pertumbuhan dan perkembangannya. Sebisa mungkin, lanjutnya, setiap anak diasuh dalam keluarga dengan memastikan penerapan disiplin yang positif dan keterampilan pengasuhan yang baik dari orangtua.

"Sebaiknya pengasuhan anak oleh panti dijadikan pilihan paling akhir. Jangan justru menjadi pilihan pertama karena nanti pribadi anak menjadi berbeda," tuturnya.

Oleh karenanya, YSTC memandang penting agar pengasuhan anak ini bisa diatur melalui undang-undang secara terpisah. Kerangka hukum yang ada yakni Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak maupun UU No. 35 tahun 2014.

Tak hanya itu, ada juga Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mengatur tentang perlindungan anak belum mengatur ketentuan untuk kebijakan dan program yang mendukung pengasuhan dalam keluarga khususnya keluarga-keluarga berisiko.

Juga di dalamnya belum ada pengaturan mengenai sistem pengasuhan anak yang dilakukan oleh kerabat seperti kakek atau nenek, paman atau bibi, tetangga atau komunitas adat.