Gejolak volatile food buat inflasi Jabar Desember menurun

Oleh Mohammad Taufik pada 04 Januari 2017, 12:25 WIB

Bandung.merdeka.com - Sebagaimana prakiraan BI Jabar sebelumnya, pada Desember 2016, tekanan inflasi Jawa Barat secara bulanan menurun ke level 0,36 persen (mtm) atau secara tahunan sebesar 2,75 persen (yoy), lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang mengalami inflasi sebesar 0,55 persen (mtm) atau 3,20 persen (yoy).

Penurunan tekanan inflasi secara bulanan ini khususnya disebabkan oleh berkurangnya efek gejolak harga bahan makanan atau volatile food yang sempat melonjak cukup signifikan di bulan November. Beberapa komoditas pangan utama memberikan sumbangan deflasi yang cukup besar seiring dengan mulai berlangsungnya panen.

Kepala Grup Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Provinsi Jawa Barat, Siti Astiyah, mengatakan secara fundamental berlangsungnya momen hari raya serta libur di akhir tahun berdampak kepada meningkatnya permintaan khususnya di pada kelompok transportasi dan kelompok bahan makanan. Depresiasi rupiah juga memberikan sedikit tekanan melalui kelompok barang impor.

"Secara historis, realisasi inflasi pada Desember 2016 lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi Desember periode 2011-2015 sebesar 0,85 persen (mtm) atau 5,25 persen (yoy). Dengan demikian, inflasi 2016 tercatat sedikit lebih tinggi dibandingkantahun 2015 sebesar 2,73 persen (yoy), namun masih terkendali dan bahkan berada sedikit di bawah rentang sasaran target inflasi tahunan sebesar 4±1 persen (yoy)," ujar Siti dari rilis yang diterima Merdeka Bandung, Rabu (4/1).

Berdasarkan disagregasinya, andil inflasi bulanan terbesar yang mencapai 0,15 persen diberikan oleh kelompok core atau kelompok barang yang relatif tidak bergejolak.

Selanjutnya, andil inflasi bulanan terbesar kedua diberikan oleh kelompok administered prices yakni sebesar 0,13 persen. Adapun andil terendah diberikan oleh kelompok volatile food atau bahan makanan bergejolak sebesar 0,08 persen.

Secara bulanan, kelompok volatile food (VF) mengalami inflasi yang cukup rendah yakni sebesar 0,39 persen (mtm) setelah pada bulan November mengalami inflasi sebesar 2,09 persen (mtm). Secara tahunan, inflasi kelompok VF juga turun dari sebesar 10,95 persen (yoy) pada bulan November menjadi 7,58 persen (yoy) pada bulan Desember 2016.

Pada bulan Desember 2016, komoditas yang memberikan andil inflasi bulanan terbesar secara berturut-turut meliputi telur ayam ras (0,09 persen), cabai rawit (0,06 persen), jeruk (0,03 persen), daging ayam ras (0,02 persen), melon (0,01 persen), dan kacang panjang (0,01 persen). Kenaikan harga pada komoditas telur ayam ras didorong oleh meningkatnya permintaan telur untuk pembuatan kue sebagai hidangan Natal dan tahun baru.

Sementara itu, komoditas cabai rawit kembali mengalami inflasi sebagai dampak kegagalan panen di beberapa wilayah penghasil di Jawa Barat yang disebabkan karena curah hujan yang tinggi. Senada dengan hal tersebut, kegagalan panen juga terjadi di sentra cabai rawit di Sumatera Utara yang disebabkan oleh serangan virus.

"Hal ini mendorong kelangkaan stock di saat permintaan cukup tinggi untuk kebutuhan Natal dan tahun baru. Namun demikian, inflasi VF yang lebih tinggi ditahan oleh penurunan harga pada sejumlah sub komoditas bumbu-bumbuan terutama bawang merah dan cabai merah.Secara umum, inflasi VF pada tahun 2016 sebesar 7,58 persen (yoy) lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 sebesar 4,42 persen (yoy)," katanya.

Pergeseran periode tanam yang terjadi sejak akhir 2015 mengakibatkan berakhirnya panen raya di triwulan III 2016 sehingga mendorong kelangkaan beberapa bahan pangan di triwulan IV 2016. Selain itu, La Nina yang meskipun tergolong rendah ternyata memberikan dampak yang lebih besar daripada El Nino di 2015, karena curah hujan yang tinggi berdampak pada kegagalan panen beberapa komoditas hortikultura seperti cabai dan bawang merah.

Pada kelompok inflasi core, terjadi peningkatan tekanan baik pada inflasi bulanan (dari 0,22 persen menjadi 0,24 persen) maupun inflasi tahunan (dari 2,18 persen menjadi 2,28 persen). Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sebesar 0,81 persen (mtm) menyebabkan peningkatan tekanan imported inflation (barang impor).

Selain itu, meningkatnya permintaan domestik memasuki momen hari raya dan libur akhir tahun juga turut mendorong kenaikan pada inflasi core non traded yang meningkat dari 0,26 persen (mtm) di bulan November menjadi 0,31 persen (mtm) di bulan Desember. Efek seasonal ini juga berdampak pada meningkatnya permintaan khususnya pada komoditas subkelompok food related seperti nasi dengan lauk, kue kering, dan ketupat.

Masih tingginya permintaan untuk jasa komunikasi menjelang momen hari raya dan pergantian tahun baik yang berbasis voice maupun mobile data mendorong kembali naiknya tarif pulsa ponsel sebesar 1,62 persen (mtm) di bulan Desember. Namun demikian, inflasi emas perhiasan mengalami penurunan sebesar 2,34 persen (mtm) sejalan dengan penurunan harga emas global di Desember yang tertekan oleh penguatan dolar Amerika Serikat pasca-kenaikan suku bunga kebijakan (Fed’s Fund Rate).

Tag Terkait