Jaka Arisandy, wasit Indonesia pertama dalam Turnamen HWC 2016

Oleh Farah Fuadona pada 21 Juli 2016, 13:30 WIB

Bandung.merdeka.com - Bukan hanya pemain Indonesia yang membubuhkan catatan manis di pentas internasional Homeless World Cup (HWC) 2016 Skotlandia. Pengadil lapangan atau wasit asal Indonesia pun menuai pujian.

Dia adalah Jaka Arisandy, usianya genap 23 tahun saat bertugas menjadi wasit di Glasgow, Skotlandia, 10-16 Juli lalu. Pria kelahiran Bandung ini memimpin 18 laga, belum termasuk tugasnya sebagai asisten wasit. Ia juga menjadi asisten wasit dalam laga final HWC 2016 khusus kaum hawa Meksiko vs Kirgistan.

Kamis 14 Juli lalu waktu Glasgow, cuaca sedang dingin-dinginnya. Suhu udara pernah mencapai 8 derajat celcius. Detik-detik menjelang Jaka bertugas, panitia HWC tiba-tiba membawa bolu dan lilin. Jaka kemudian diminta meniup lilin tersebut. Ia sadar, panitia HWC sedang memberinya kejutan. Peringatan ulang tahun sederhana itu disiarkan salah satu televisi Skotlandia yang menayangkan turnamen street soccer HWC 2016.

“Jadinya ulang tahun saya disiarkan televisi,” kata Jaka seraya tertawa, saat ditemui Merdeka Bandung di Sekretariat Rumah Cemara, Bandung.
 
Setelah perosesi tiup lilin, putra tunggal dari pasangan Agus Patah Ruhyana dan Nunung Cahyati ini kemudian memimpin pertandingan. Baginya momen tersebut sangat berkesan, tak pernah terbayang ulang tahunnya bisa dirayakan di tengah lapang disiarkan televisi luar negeri.

Penunjukkan Jaka sebagai wasit HWC 2016 terjadi diam-diam. Pada Februari lalu, Jaka mengikuti pelatihan wasit yang digelar panitia HWC di Bandung. Perwakilan dari mereka datang ke Rumah Cemara, komunitas pendamping HIV/Aids yang menjadi national organizer HWC untuk Indonesia.

Jaka pun serius mengikuti pelatihan itu tanpa diberi tahu bahwa pelatihan tersebut sebenarnya disiapkan untuk HWC 2016 Skotlandia. “Saya ikut saja pelatihan. Baru pada hari terakhir latihan, saya dinyatakan terpilih menjadi wasit dan harus ikut ke Skotlandia,” tuturnya.

Awalnya, Jaka akan diberangkatkan sendirian, terpisah dari rombongan Tim Nasional (Timnas) Indonesia untuk HWC 2016. Tetapi ia tidak berani naik pesawat sendirian. Akhirnya pihak Rumah Cemara melobi HWC agar mengizinkan Jaka berangkat bersama Timnas.

Sehari setelah lebaran, Kamis 7 Juli lalu, Jaka terbang bersama Timnas, manajer dan pelatih ke Glasgow, Skotlandia.  “Tiba di sana kami disambut seperti keluarga. Saya sendiri tak menyangka bisa menjadi wasit HWC,” ujarnya.

Menjadi wasit di luar negeri berbeda dengan menjadi wasit di Indonesia. Di sana wasit sangat dihormati pemain maupun penonton. Tidak ada caci maki ataupun sentuhan kepada wasit.

Beda dengan di Indonesia di mana pemain biasa menjadi kambing hitam. Di sana tidak ada teriakan “Wasit Goblok”.

“Di sana wasit ditempatkan pada posisi paling terhormat. Cuman ketika ada pemain yang protes saya bingung mau jawab apa. Bahasanya beda meski peluitnya sama saja,” ujar pria murah senyum ini.

Di luar lapangan, Jaka adalah pria ramah yang murah senyum. Tetapi kepemimpinannya di lapangan mebuat panitia HWC puas. Rencananya HWC akan kembali memanggil Jaka untuk memimpin pertandingan HWC 2017.

Jaka dinilai mampu bersikap tegas. Ia pernah mengusir pemain yang melakukan pelanggaran keras. Salah satu pemain yang pernah ia hadiahi kartu biru (setara dengan kartu merah dalam sepak bola) berasal dari salah satu negara di Benua Afrika. Pemain Afrika tersebut melakukan tekel kasar.

Dalam aturan HWC, pemain yang kasar harus diberi peringatan terlebih dahulu sebelum diganjar kartu biru. Peringatan wasit setara dengan kartu kuning dalam sepak bola.

Nah, sebelumnya Jaka sudah memeringati si pemain Afrika tersebut. Tapi tetap saja melakukan tekel keras. Maka dengan tegas Jaka pun mencabut kartu biru. “Pemain Afrika itu sampai marah, dia sampai nendang papan pembatas lapang,” cerita Jaka yang sehari-hari aktif di Rumah Cemara.

Pengalaman Jaka pergi ke HWC bukan kali pertama. Tahun 2015 saat HWC di Amsterdam, Belanda, ia menjadi pemain Timnas Indonesia. Aktivitasnya di Rumah Cemara dimulai saat ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, namun hanya sampai tiga semester.

“Waktu itu ada masalah di keluarga,” katanya, menjelaskan kenapa kuliahnya tidak tamat. Ia kemudian diajak bergabung dengan klub futsal Dalem Kaum Rumah Cemara.

Jaka mengaku sangat terinspirasi orang-orang di Rumah Cemara, antara lain pendirinya Ginan Koesmayadi serta Manager Timnas HWC 2016 Rijki Kurniawan. “Bagi saya Rumah Cemara keluarga kedua,” katanya.

Tag Terkait