Perjuangan STB, teater tertua di Bandung yang menolak tua
Bandung.merdeka.com - Sudah 57 tahun kelompok teater Studiklub Teater Bandung (STB) berdiri. Pertama muncul pada 1958, kelompok teater ini konsisten terus berkarya sampai sekarang.
Tampil konsisten mungkin menjadi hal yang paling sulit dilakukan baik di dunia seni maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sudah banyak komunitas atau individu 'gugur' di tengah-tengah perjalanan, tetapi tidak dengan STB.
Ketua STB Sutardjo Wiramihardja, menuturkan STB bisa tampil hingga kini tentu tidak lepas dari jatuh bangun. Tetapi kendala itu bisa diatasi dengan semangat dan perencanaan yang matang.
"(Kunci kita) Pertama karena gemar dan senang. Lalu bikin organisasi yang bagus, paling tidak secara struktur punya peluang jangka panjang," kata pria 77 tahun yang sudah menjadi Ketua STB sejak 1972 tersebut.
Di kalangan para pelaku seni peran, nama STB sudah tidak asing lagi. Kelompok ini sebenarnya sudah dirintis sejak 1957, waktu itu para pendiri sering mengikut kegiatan seni rupa ITB, pementasan atau sekedar bekumpul dan berdiskusi.
Dalam perjalanannya, STB memainkan naskah teater lokal maupun saduran dari naskah luar negeri. Di antaranya Kereta Kencana, sebuah saduran sastrawan WS Rendra dari naskah Kursi-kursi (1952) karya Eugene Ionesco, sastrawan asal Rumania yang besar di Paris, Prancis.
Tokoh sentral STB adalah Suyatna Anirun (alm), yang lebih dari 40 tahun membesarkan kelompok teater ini. Suyatna kemudian disebut satu dari enam orang empu teater Indonesia selain Teguh Karya, WS. Rendra, N. Riantiarno, Putu Wijaya, dan Arifin C. Noer.
Suyatna meninggal di Bandung 4 Januari 2012. Sepeninggalnya sang maestro, STB tetap eksis di tangan generasi penerus hingga kini, di antaranya istri Suyatna, Yati Sugiyati SA.
Sutardjo mengakui, kini dirinya dan beberapa pendahulu STB sudah tua, sudah saatnya melanjutkan tongkat estafet kepada generasi muda. "Kita tunjuk-tunjuk (penasihat) saja, kita sudah tua," ujarnya seraya terkekeh.