Komunitas pecinta sejarah dan literasi cetak ulang novel Abad 20

Oleh Farah Fuadona pada 26 Maret 2016, 11:32 WIB

Bandung.merdeka.com - Novel abad awal abad ke-20 di Bandung berjudul “Rasia Bandoeng”  dicetak ulang oleh komunitas pecinta sejarah dan literasi Bandung. Uniknya, novel dicetak secara gotong royong.
 
“Ini bukan sekedar roman (novel) tapi dokumen sosiologis kota Bandung,” kata penyunting novel “Rasia Bandoeng,” Andrenaline Katarsis, dalam bincang-bincang novel “Rasia Bandoeng,” Jumat (25/3) sore.
 
Ada lima komunitas mendukung penerbitan novel yakni Katarsis Book, Balad Junghuhn, Gamboeng Vooruit & Co , Tjimahi Heritage, dan Tulus Pustaka.
 
Novel “Rasia Bandoeng” adalah roman klasik yang kontroversial di zamannya. Novel ini ditulis secara anonim dengan nama , Chabanneau. Hingga kini sosok sang penulis masih misterius. Chabanneau memberi judul yang panjang pada romannya, yakni Rasia Bandoeng Atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917.
 
Roman berbahasa melayu pasar tersebut bercerita kisah cinta orang Tionghoa di Bandung. Yang menjadi kontroversi, percintaan itu dialami sepasang kekasih satu marga (she), yakni perempuan muda bernama Tan Gong Nio alias Hilda dengan Tan Tjin Hiauw. Dalam budaya Tionghoa di masa lalu, pernikahan satu marga sangat tabu.
 
Proses percetakan novel terbilang unik. Buku dicetak secara terbatas untuk kalangan komunitas sesuai jumlah pemesan. Menurut Andrenaline, pihaknya awalnya akan dicetak 35 eksemplar sesuai dengan jumlah pemesan.
 
Sebelumnya calon pembeli yang memesan roman harus menitipkan dahulu. Setelah uang terkumpul, baru roman dicetak.
 
“Awalnya kita mau cetak 35 eksemplar, tetapi kata penerbit tanggung, jadi kita ceta 50 eksemplar. Dan dalam satu hari habis semua,” kata Andrenaline.
 
Rencana penerbitan kembali roman “Rasia Bandoeng” dilatarbelakangi momentum Imlex bulan lalu dengan tujuan menghadirkan literasi terkait Imlex di Bandung.
 
Di saat yang sama, Hernadi Tanzil juga sedang mengetik ulang roman Rasia Bandoeng. Hernadi yang dalam penerbitan buku tersebut bertugas sebagai pra-cetak, lalu mengabarkan pengetikan ulang tersebut kepada Andrenaline.
 
Gayung bersambut. Akhirnya roman akan dicetak bersama, meski awalnya Hernadi mengetik ulang roman untuk kepentingan pribadi yang didorong kecintaannya pada buku-buku klasik tentang sejarah Bandung.
 
“Akhirnya kita terbitkan bersama. Proses pengetikan satu tahun, kemudian editing dan printing,” kata Andrenaline.
 
Roman “versi” komunitas tersebut dibungkus sampul warna kuning dengan motif garis merah dan bergambar sebuah heritage De Vries yang terletak di Jalan Asia-Afrika (Grote Postweg) Bandung. Bangunan klasik tersebut dibingkai dalam dua pilar sebagaimana cover roman “Rasia Bandoeng” versi aslinya yang dicetak Deukkerij  Kho Tjeng Bie dan Co, Batavia (Jakarta) hampir seabad lalu.
 
Meski melewati penyuntingan, bahasa yang dipakai dalam penulisan roman tetap bahasa melayu pasar yang menjadi lingua francakhususnya bagi Tionghoa di Bandung.
 
Andrenaline mengatakan, penyuntingan dilakukan untuk memeriksa salah ketik, konsistensi kata misalnya Chabanneau menggunakan kata “tahun” dengan “tahon” dan “tahoen,” maka kata “tahun” dalam roman semuanya menjadi “tahon.”
 
Cukup banyak kata yang dipakai Chabanneau yang dalam penulisannya tidak konsisten. “Di sini saya tidak menyunting teknis penulisan, tapi lebih ke konsistensi penulisan tanpa merusak struktur bahasa,” katanya.
 
Chabanneau juga cukup banyak menulis sebuah paragraf yang isinya satu atau dua kalimat saja. Maka kalimat-kalimat dengan paragraf terpisah digabung menjadi satu paragraf.
 
Selain itu, Chabanneau banyak sekali menggunakan kata-kata asing atau daerah seperti bahasa Belanda, Inggris, dan bahasa Sunda. Untuk mengatasi istilah asing dibubuhkan catatan kaki.
 
Rencananya, novel tersebut siap dicetak kembali untuk pemesan berikutnya.