Banyak yang sukses, alumni Bidikmisi ITB rata-rata penghasilan per bulan Rp 7,5 juta

Oleh Mohammad Taufik pada 17 Maret 2018, 11:58 WIB

Bandung.merdeka.com - Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang melakukan studi pelacakan alumni atau biasa disebut tracer study - pada mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program Bidikmisi di perguruan tinggi, khususnya di ITB.

Ketua Lembaga Kemahasiswaan ITB Eng. Sandro Mihradi mengungkapkan, program Bidikmisi diluncurkan pemerintah pada 2010 lalu, guna mengangkat masyarakat dari golongan ekonomi bawah agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan melalui pendidikan. Pihaknya melakukan tracer study khusus pada mahasiswa Bidikmisi ITB angkatan 2010 dengan tujuan melihat tingkat keberhasilan secara kualitas pendidikan serta daya ekonomi.

"Kami melakukan tracer study pada alumni penerima beasiswa Bidikmisi guna melihat apakah secara kualitas pendidikan dan ekonomi, mereka berubah menjadi lebih baik atau tidak. Dengan parameter-parameter tertentu, didapatkan hasil bahwa mereka para alumni penerima beasiswa Bidikmisi di ITB berhasil memperoleh penghasilan yang jauh lebih baik dan kualitas pendidikan yang lebih mumpuni," ujar Sandro

Jumlah responden mahasiswa Bidikmisi angkatan 2010 sebesar 450 orang. Dari jumlah tersebut, pihaknya mengukur dengan parameter seperti jumlah rata-rata penghasilan, kategori lulusan, ketersesuaian pekerjaan dengan bidang studi yang diambil semasa kuliah, hingga nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Berdasarkan kategori lulusan, sebanyak 68 persen bekerja dengan penghasilan rata-rata Rp 7,5 juta per bulan, 5 persen berwirausaha dengan penghasilan sekitar Rp. 9,5 juta per bulan, 6 persen bekerja sambil berbisnis dengan penghasilan sekitar Rp 7,2 juta per bulan, dan sebanyak 15 persen melanjutkan studi ke pendidikan yang lebih tinggi.

"Jika melihat dari jumlah penghasilan per bulannya saja, maka program Bidikmisi cukup berhasil. Tinggal selanjutnya, bagaimana agar alumni penerima beasiswa Bidikmisi ini bisa memberikan dampak berkesinambungan sehingga mereka bisa membantu adiknya, saudaranya, dan bahkan mengangkat derajat keluarganya agar memiliki kehidupan yang lebih baik," ujar Sandro.

Ia menyebutkan, ada sekitar 10 persen mahasiswa Bidikmisi yang menggunakan sebagian dana beasiswanya untuk membantu keluarga. Hal ini cukup mengejutkan jika mengingat jumlah dana beasiswa hanya Rp 1 juta per orang.

Seperti diketahui, pemerintah memperbolehkan perguruan tinggi untuk mengambil maksimal 40 persen dana beasiswa tersebut guna membayar SPP. Akan tetapi, ITB hanya memotong sebesar Rp 50.000 saja, sedangkan Rp 950.000 diberikan pada mahasiswa. Hal ini berbeda dengan beberapa perguruan tinggi lainnya, yang bahkan bisa memotong untuk SPP hingga Rp 400 - 500 ribu. Dengan jumlah tersebut, Sandro menilai bahwa dana yang didapatkan mahasiswa Bidikmisi kurang relevan dengan nilai kebutuhan hidup saat ini.

Untuk meringankan pengeluaran mahasiswa, Lembaga Kemahasiswaan ITB menganggarkan sedikitnya Rp 1 Miliar per tahun untuk voucher makan mahasiswa Bidikmisi. Ia pun melihat, bahwa mahasiswa Bidikmisi jauh lebih mandiri, terbukti dari hasil survey bahwa 63 persen diantaranya mencari penghasilan tambahan dan tidak hanya mengandalkan dana beasiswa saja.

"Sejak 2010, beasiswa Bidikmisi memberikan Rp 1 juta per bulan pada mahasiswa. Baru di tahun 2017 lalu, naik Rp 50.000 per bulan. Jika melihat kenaikan inflasi, tentu dana tersebut tidak cukup untuk biaya keseharian. Untuk itu kami berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali besaran beasiswa Bidikmisi, minimal sesuai dengan kenaikan inflasi," katanya.

Tag Terkait