Ridwan Kamil pertanyakan hasil survei UIN SGD Bandung

Oleh Mohammad Taufik pada 05 Juli 2017, 15:28 WIB

Bandung.merdeka.com - Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mempertanyakan hasil survei yang dirilis Tim Peneliti Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung terkait 'Fluktuasi Popularitas & Elektabilitas Balon Gub Jabar 2018' beberapa waktu lalu.

Dari survei tersebut disebutkan bahwa tingkat elektabilitas dan popularitas Ridwan ‎Kamil menunjukkan penurunan. Sedangkan sejumlah tokoh lainnya yang memang disebut bakal maju di P‎ilgub Jabar 2018 mulai menunjukkan peningkatan.

Popularitas Ridwan Kamil yang merupakan Wali Kota Bandung ini menurun dari 24,28 persen pada survei pertama menjadi 18,49 persen pada survei kedua. Sedangkan Deddy Mizwar meningkat dari 18,65 persen menjadi 19,71 persen. Pun ketiga bakal calon lainnya mengalami pergeseran: Dede Yusup meningkat dari 15,68 persen menjadi 17,41 persen, Iwa Karniwa meningkat dari 8,99 persen menjadi 13,88 persen dan Dedi Mulyadi meningkat dari 10,70 persen menjadi 11,60 persen.

Menanggapi hasil survei tersebut, pria yang akrab disapa Emil ini mengaku aneh dengan hasil survei yang menyebut jika popularitasnya menurun. Menurut dia, dalam logika survei tidak mungkin popularitas turun.

"Dalam logika survei tidak ada orang yang dulunya kenal tiba-tiba menjadi tidak kenal. Kalau elektabilitas menurun betul, karena tadinya milih jadi 'teu beuki' (tidak suka) maka Saya tidak pilih jadi turun. Tapi dulunya kenal 20 persen misalkan, tiba-tiba menjadi tidak kenal kan enggak mungkin tidak kenal karena udah keburu kenal. Jadi sedikit mempertanyakan ada statement bahwa popularitas menurun," ujar Emil kepada wartawan di balai Kota Bandung, Rabu (5/7).

Menurut Emil, secara logika angka popularitas itu hanya ada dua yakni tidak berubah atau naik. Sehingga tidak ada dalam keilmiahan survei yang namanya popularitas menurun.

"Aneh juga masa Pa Deddy Mizwar dibaca popularitas hanya 20 persen gitu. Semua juga tahu orang orang artis mah rata-rata di atas 90 persen," katanya.

Namun untuk angka elektabilitas, lanjut Emil, dirinya dapat memahami jika elektabilitas turun. Sebab hal itu sangat mungkin, tergantung dari pilihan masyarakat yang terus berubah. "Kalau elektabilitas bisa dipahami, setelah kenal kan ada orang suka, ada kenal tidak suka, maka bisa naik turun ari cinta mah," ucapnya.

Namun demikian, Emil mengaku tetap menerima hasil survei tersebut sebagai bahan evaluasi bagi dirinya.

"Ya artinya survei itu diterima sebagai bahan evaluasi tapi khusus survei yang diberitakan kemarin ada sedikit pertanyaan yang enggak masuk ke logika Saya yaitu faktor statement bahwa popularitas menurun itu aja. Kalau dalam pandangan saya popularitas mah tidak bisa menurun, yang ada stabil atau naik tapi elektabilitas bisa," katanya.

Dalam survei yang mengambil sampel 5.000 warga Jabar, nama Ridwan Kamil memang masih bertengger di atas dengan pesaingnya dalam urusan elektabilitas. Namun dalam hasil survei tingkat elektabilitas Ridwan Kamil yang semula 55,1 persen menjadi 40 persen.

Deddy Mizwar pada urutan kedua dengan meningkat dari 16,30 persen menjadi 22,38 persen pada survei kedua. Dede Yusup dari 11,68 persen meningkat menjadi 12,57 persen, Iwa Karniwa melejit dari 2,55 persen menjadi 10,44 persen dan Dedi Mulyadi meningkat dari 6,17 persen menjadi 10,08 persen pada survei kedua.

Dalam survei, responden yang diambil adalah warga Jawa Barat yang sudah memiliki hak pilih dengan persebaran di 27 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat secara stratified random sampling di tingkat kabupaten/kota.

Pemilihan jumlah responden per kabupaten/kota berdasarkan metode cluster dengan target komposisi secara purposif dari profesi pedagang, buruh, petani, PNS, serta pelajar dan mahasiswa dengan tingkat kepercayaan minimal 95 persen, sehingga memiliki margin of error maksimal 5 persen.

Emil pun memiliki cara untuk mengetahui lembaga survei yang layak dipercaya. Sehingga hasil survei yang dikeluarkan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

"Kalau lembaga survei itu lihat track recordnya. Kalau usianya di atas 5 tahun, sebagai lembaga profesionalisme cenderung sudah punya keilmiahan yang bisa dipertanggung jawabkan. Kenapa dia selalu ikut quick count gitu kan dalam perhelatan-perhelatan. Biasanya salah satu yang dianggap profesional itu kalau quick count nya itu paling akurat. Lembaga lembaga itu aja," ujarnya.

Dengan banyaknya data yang rilis oleh lembaga survei, Emil pun mengaku sangat terbantu. Sehingga dapat memperbaiki kekurangan dirinya dan melihat sejauh mana efektifitas sosialisasi dan cara berkampanye yang telah dilakukan.

"Lumayan kan Saya engga bayar tapi dapat info. Kalau saya mah pada dasarnya lebih senang dikritik. Jadi lebih enak memperbaikinya dimana kan. Ketimbang dipuja-puji 'bari bingung kudu diberesan naon deui kan' (sembari bingung apa lagi yang harus diperbaiki kan). Jadi semakin banyak kritikan masukan bagi saya adalah asupan untuk memperbaiki diri," katanya.

Tag Terkait