Ferry Curtis, dari ngamen hingga konser musik balada

Oleh Farah Fuadona pada 12 Agustus 2016, 20:13 WIB

Bandung.merdeka.com - Lirik-lirik lagu yang diciptakan musisi Ferry Curtis sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Tak terasa perjalanan bermusik musisi yang lekat dengan musikalisasi puisi ini sudah 25 tahun. Diawali dengan mengamen di kawasan Bandung.

“Sebelum masuk kuliah saya ngamen dulu,” cerita pria berkacamata ini membuka satu fase perjalanan bermusiknya, saat berbincang dengan Merdeka Bandung.

Dari mengamen itulah ia bersentuhan dengan berbagai sisi kehidupan. Dari situ pula ia mendapatkan nama belakang “Curtis”. Sedangkan nama asli pria kelahiran Wanayasa, Purwakarta ini sebenarnya R. Ferry A. Anggawijaya.

Di jalan, ia berkenalan dengan Joni Curtis Valentino Sitompul, sama-sama pengamen. Ferry dan Joni sepakat untuk bertukar nama belakang. “Akhirnya jadi Ferry Curtis sampai sekarang", cerita Ferry.

Selama 25 tahun membawakan musik balada kreatif—demikian ia lebih suka menyebut genre musiknya—ia sudah menggelar 31 kali konser tunggal untuk menebarkan nilai kemanusiaan, motivasi dan nasionalisme yang menjadi ciri khas lirinya.

Konser tersebut ia lakukan di berbagai tempat di Indonesia. Terbaru, ia tampil di Gedung Merdeka Bandung dalam acara Puncak Peringatan Hari Lahir Pancasila. Dalam acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo, ia membawakan lagu khusus yang ditulisnya sendiri berjudul "Semua Untuk Semua".

Ferry banyak membawakan lagu-lagu yang dibuatnya sendiri. Hingga kini ia telah menulis 200 lagu yang terdiri dari tiga album balada, tiga album kolaborasi, dan satu album lagu untuk anak-anak.

Album anak ia tulis untuk memotivasi anak di tengah minimnya lagu anak dengan lirik yang kuat. Menurutnya, dewasa ini pencipta lagu anak kurang menekankan pada kekuatan lirik. Salah satu lagu anak karya Ferry yang berisi nilai nasionalisme misalnya “Anak Kecil Kehilangan Bendera."

Menurutnya, lagu dengan lirik kuat lahir dari sebuah riset dan permenungan. Setelah menulis, ia biasa memeriksa kata demi kata. Misalnya mengecek diksi yang sama. “Kalau dalam satu lirik ada beberapa kata yang sama, contohnya kata ‘kau’ biasanya saya hapus,” katanya.

Baginya, membuat lagu ibarat mengukir. Ukiran yang asal akan menghasilkan karya yang asal-asalan. Sedangkan ukiran yang sabar dan biasanya memerlukan waktu, maka hasilnya akan baik pula. “Lagu yang baik seperti ukiran Jepara,” ucapnya.

Salah satu lagu terbaru yang ia buat berjudul “Cinta untuk Semua Guru”, tentang peran penting seorang guru. Lagu yang ditulis akhir 2015 ini hasil riset terhadap anaknya sendiri.

“Saya nanya ke anak saya, kira-kira guru yang dia idamkan seperti apa? Anak saya menjawab, guru itu harus menyenangkan, nyaman saat mengajar, tidak tegang. Sebetulnya guru seperti itulah yang diinginkan setiap siswa, guru yang membuat siswa nyaman,” ujar ayah tiga anak ini.

Dari riset kecil-kecilan tersebut, lahirlah lagu yang liriknya sebagai berikut:

"CINTA UNTUK SEMUA GURU"

Tanpamu aku tidak bisa
menulis dan membaca
menambah mengurangi
mengkali dan membagi
angka-angka

Sopan santun kau ajarkan
tatakrama kau tanamkan
rendah hati kau contohkan
semangat hidup yang membara
di dada ini karena engkau

Menjadi jiwa pengisi sukma
insan merdeka Bangsa Indonesia
Menjadi jiwa pengisi sukma
insan merdeka Bangsa Indonesia
Tabikku hormatku cintaku
untukmu semua Guru..

Selain menulis lagu, Ferry banyak mengolah sastra menjadi syair lagu. Sejumlah puisi karya sastrawan Bandung dimusikalisasi. Ikon musikalisasi puisi pun mengisi perjalanan musiknya.

Musikalisasi puisi pertama ia lakukan pada karya sastrawan Saini KM yang juga gurunya di STSI (kini ISBI) Bandung. Ia mengaransemen puisi berjudul “Rumah Cermin” untuk dipentaskan dalam konser tunggal di CCF (kini IFI) Bandung akhir 90-an.

Puisi “Rumah Cermin” memiliki bait yang cukup panjang. Namun Ferry mampu membawakannya sebagai musikalisasi puisi. “Dari situ musikalisasi melekat pada saya, hingga kini,” ujarnya.

Setelah itu banyak puisi karya sejumlah sastrawan yang ia musikalisasi, antara lain sajak WS. Rendra, Suyatna Anirun, Acep Zamzam Noer, Soerya Disastra, Godi Suwarna dan lain-lain.

Selama perjalanannya bermusik, musisi yang tinggal di Bandung ini tercatat sebagai lima Penulis Lirik Terbaik Indonesia, Duta Baca Yayasan Baca Indonesia, Duta sekaligus penulis Mars Pend. Inklusi Kota Bandung 2016 dan Penerima Award Pendidikan untuk lagu “Ke Pustaka”.

Tag Terkait