Butuh waktu setahun mengetik ulang novel Rasia Bandoeng

Oleh Farah Fuadona pada 26 Maret 2016, 15:24 WIB

Bandung.merdeka.com - Mengetik ulang novel klasik yang terbit hampir seabad lalu, tentu memerlukan ketekunan dan kesabaran ekstra. Apalagi sumber ketikan itu adalah foto kopian yang tidak jelas.
 
Hal itu dialami Hernadi Tanzil yang terlibat pra cetak novel “Rasia Bandoeng” yang diterbitkan ulang komunitas literasi Bandung.
 
Novel “Rasia Bandoeng” adalah novel kisah nyata kontroversial di zamannya. Novel yang ditulis penulis anonim, Chabanneau, ini tengah digandrungi komunitas pecinta literasi dan sejarah Bandung.
 
Novel itu mengisahkan percintaan satu marga (she) antara Tan Gong Nio alias Hilda dan Tan Tjin Hiauw di Bandung pada 1917. Keduanya sepasang kekasih yang kemudian kawin lari karena berusaha mendobrak tradisi kawin semarga yang masa itu sangat tabu.
 
Untuk menerbitkan “Rasia Bandoeng,” Hernadi Tanzil bekerja sama dengan berbagai komunitas, antara lain Katarsis Book, Balad Junghuhn, Gamboeng Vooruit & Co , Tjimahi Heritage, dan Tulus Pustaka.
 
“Tadinya saya mengetik untuk koleksi sendiri. Saya lalu ngobrol dengan Andre (Andrenaline Katarsis pegiat Katarsis Book) untuk menerbitkan bagi komunitas,” cerita Hernadi, di sela bincang santai novel Rasia Bandung.
 
Pengetikan novel dilatarbelakangi kesukaan Hernadi terhadap buku-buku yang mengulas Bandung. Ia rajin mengoleksi berbagai buku antik hingga kemudian menemukan judul buku yang menarik, yaitu Rasia Bandoeng.
 
Karena ada kata “Bandoeng”-nya, ia pun tertarik untuk mengoleksi novel tersebut. Namun pencarian novel tidak mudah, ia pernah mendapat tawaran di facebook yang harganya cukup tinggi, Rp350.000.
 
Ia akhirnya bisa memfotokopi roman tersebut dari temannya, itu pun bukan foto kopi dari aslinya, sehingga tidak sedikit kalimat dalam novel yang tidak bisa terbaca. Terlebih novel ditulis dalam bahasa Melayu pasar, bahasa pergaulan yang dipakai sebelum lahirnya Bahasa Indonesia.
 
Setelah dibaca, kata Hernadi, novel bercerita tentang perkawinan semarga. Hernandi yang juga bermarga Tan makin tertarik lagi. “Siapa tahu ada hubungannya dengan saya,” katanya setengah bercanda.
 
Dari situ mulailah dilakukkan pengetikan yang dilakukan di sela pekerjaannya. “Saat lagi jenuh di kantor, menemani istri membuat kue, saya mulai ngetik. Ngetiknya kadang sambil ngobrol, tanpa beban. Maka tak heran banyak salah ketik juga, tadinya kan untuk koleksi sendiri,” tutur dia seraya menambahkan istrinya memiliki usaha membuat kue.
 
Pengetikan selesai setelah hampir setahun. Naskah kemudian diserahkan ke Katarsis Book untuk disunting. Ia juga yang menyarankan sebaiknya cover buku diberi gambar dua tiang atau pilar sebagaimana cover novel “Rasia Bandoeng “ yang aslinya.
 
“Cover bergambar tiang menunjukkan kekuatan cinta Tan Gong Nio dan Tan Tjin Hiauw,” jelasnya.
 
Menurutnya, di masa lalu perkawinan semarga benar-benar tabu. Sehingga dalam novel tersebut, orang tua Tan Gong Nio sampai harus memasang iklan di surat kabar bahwa Tan Gong Nio “dipecat” sebagai anak.
 
Kini, novel tersebut “lahir” kembali meski dalam jumlah terbatas. Rencananya novel setebal 220 halaman itu akan kembali dicetak sesuai pesanan.