Curah hujan tinggi, pasokan cabai merah di Jawa Barat berkurang
Bandung.merdeka.com - Sebagaimana prakiraan Bank Indonesia (BI) wilayah Jabar sebelumnya, pada September 2016 tekanan inflasi Jawa Barat meningkat sebesar 0,22 persen (month to month/mtm) atau sebesar 2,54 persen (year over year/yoy). Angka tersebut lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya sebesar 0,17 persen (mtm) atau 2,13 persen (yoy).
Peningkatan tekanan inflasi pada bulan ini secara umum karena pola siklikal tahunan dan lebaran haji, juga dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditas kelompok inflasi inti dan administred price sebagai akibat dari penyesuaian tarif harga barang yang ditetapkan oleh pemerintah serta berkurangnya pasokan cabai merah akibat anomali cuaca.
Secara historis, realisasi inflasi bulanan pada September 2016 sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata inflasi bulanan di September periode 2011-2015 yakni sebesar -0,12 persen.
Berdasarkan disagregasinya, andil inflasi bulanan terbesar diberikan oleh faktor fundamental yaitu kelompok inflasi inti yang mencapai 0,19 persen seiring meningkatnya peningkatan sisi permintaan masyarakat.
Selanjutnya diikuti oleh faktor non-fundamental yaitu kelompok administred price yang memberikan andil inflasi bulanan sebesar 0,10 persen. Di sisi lain, kelompok volatile food masih memberikan sumbangan deflasi bulanan dengan andil sebesar -0,07 persen di tengah tekanan harga cabai merah yang merangkak naik akibat pengaruh anomali cuaca.
Pada kelompok inflasi inti, terjadi sedikit peningkatan tekanan inflasi bulanan dari 0,30 persen (mtm) pada Agustus menjadi 0,31 persen (mtm) pada September. Peningkatan ini terutama didorong oleh tekanan inflasi bulanan pada kelompok core non-traded dari 0, 48 persen (mtm) pada Juli menjadi 0,51 persen (mtm) pada September.
Momentum memasuki Tahun Ajaran Baru menjadi salah satu penyebab utama kenaikan inflasi pada kelompok ini, sebagaimana tercermin dari kenaikan tekanan inflasi pada tarif akademi/perguruan tinggi. Selain itu, kenaikan tarif pulsa ponsel dengan andil inflasi sebesar 0,06 persen juga menjadi pendorong utama kenaikan harga pada kelompok core non-traded.
Sementara itu, tekanan inflasi bulanan pada kelompok core traded tercatat stabil sebesar 0,19 persen (mtm) baik di bulan Agustus maupun September. Secara bulanan, kelompok volatile food masih mengalami deflasi sebesar 0,36 persen meskipun mulai meningkat dibandingkan deflasi pada bulan Agustus 2016 sebesar 0,94 persen.
Komoditas yang memberikan andil deflasi terbesar pada bulan ini adalah telur ayam ras (-0,06 persen), kentang (-0,04 persen), beras (-0,02 persen) dan wortel (-0,02 persen). Penurunan harga telur ayam ras terutama terjadi karena menurunnya permintaan yang disebabkan kecenderungan masyarakat yang masih banyak mengkonsumsi daging hasil kurban.
"Sementara itu, di tengah rata-rata komoditas volatile food yang masih mengalami deflasi, beberapa komoditas lainnya tercatat mengalami inflasi seperti cabai merah dan bawang merah. Cabai merah tercatat mengalami inflasi sebesar 21,13 persen (mtm) atau memberikan andil inflasi sebesar 0,07 persen," ujar Deputi Direktur Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jawa Barat, Azka Subhan dari rilis yang diterima Merdeka Bandung.
Anomali cuaca (curah hujan tinggi) yang terjadi pada September menyebabkan berkurangnya pasokan sebagai akibat menurunnya produksi di sentra-sentra produksi cabai merah seperti Ciamis dan Banjarnegara.
"Selain itu, faktor cuaca juga menyebabkan distribusi terhambat. Terlebih lagi suplai cabai merah dari Garut juga terhenti sejak bencana alam yang terjadi di daerah tersebut," ujarnya.
Berdasarkan kota perhitungan inflasi, seluruh kota perhitungan mengalami inflasi pada bulan September. Adapun inflasi tertinggi dialami oleh Kota Depok sebesar 0,37 persen (mtm), dimana hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga beberapa komoditas bumbu-bumbuan seperti cabai merah.