Jejak Republik Indonesia Serikat di Bandung

user
Muhammad Hasits 07 Desember 2015, 15:26 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Gedung kuno Pusat Kebudayaan (YPK) sempat mengalami masa keemasan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan kebudayaan. Yayasan yang berdiri di Jalan Naripan-Braga, Bandung, ini merupakan salah satu peninggalan Negara Pasundan, negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk Belanda pada 1948.

Di masa kejayaannya, YPK ikut andil dalam melahirkan seniman terkemuka seperti komedian Bing Slamet, sinden Upit Sarimanah, dalang kakak beradik Ade Kosasih Sunarya dan Asep Sunandar Sunarya hingga salah satu kelompok teater tertua di Indonesia, Studi Teater Bandung.

YPK dibentuk oleh Negara Pasundan di hadapan notaris Hendrik Joseph Lamers di Bandung pada Jumat 22 April 1949, demikian dikutip merdeka.com dari dokumen akta notaris pendirian YPK.

Akta tersebut menyebutkan, para pendiri YPK angkatan pertama begitu multietnis, di antaranya A Poeradireja, TA Snijders, Tan Hwat Tjiang dan lain-lain. Baru setelah Republik Indonesia Serikat bubar dan bentuk pemerintahan menjadi Republik Indonesia, akta pendirian YPK pun berubah.

Perubahan tersebut terjadi pada waktu pendirian menjadi Senin 10 September 1956. Status YPK pun menjadi milik negara. Kendati demikian, hak penghuni gedung tetap di tangan YPK. Sebab, YPK sudah menghuni dan mengelola gedung sejak sebelum perang. Akta juga menyebutkan YPK sebagai pengelola gedung, sehingga nama gedung sama dengan nama yayasan yang dalam bahasa Belanda Stiching Cultur Center.

Sejak awal pendirian hingga kini, YPK fokus menjalankan pembinaan, pengembangan dan apresiasi seni budaya dengan kegiatan meliputi penyelenggaraan kursus, pendidikan, latihan dan pertunjukan seni.

Dalam akta disebutkan, YPK adalah lembaga non komersil dengan keanggotaan badan/lembaga pengelola seni budaya. Dalam penyelenggaraan kegiatan, YPK bekerja sama dengan lembaga seni budaya lain.

Periode keemasan YPK berlangsung dari 1949 sampai 1960. Hal ini tidak lepas dari lancarnya pendanaan dari pemerintah dan para donatur. YPK menggelar kursus-kursus kesenian yang terdiri dari wayang golek, berbagai jenis tarian tradisional, pencak silat, karawitan, seni vokal tradisional dan modern serta macam-macam kesenian rakyat seperti reog, calung, angklung, sandiwara Sunda.

Kejayaan YPK mulai memudar seiring gejolak politik waktu itu. Puncaknya, kegiatan di YPK padam pada masa Gerakan 30 September 1965.

Selanjutnya upaya membangkitkan YPK kembali dirintis pada 1969. Namun waktu itu banyak ruangan YPK yang dipakai lembaga atau instansi lain. Kondisi gedung pun tak terawat, hampir 10 tahun gedung ini tak dipelihara. YPK hanya bisa menempati ruangan pertunjukan saja. Meski demikian kegiatan tetap jalan meski dengan fasilitas seadanya.

Pengurus YPK terus berusaha melakukan pembenahan, melakukan perbaikan fisik gedung, penataan personalia, penataan dan pengadaan perlengkapan. Tidak jarang dana perbaikan harus merogoh kocek pribadi pengurus yayasan.

Akta mencatat, perjuangan paling berat adalah mengambil alih ruangan yang dipakai instansi lain. Baru pada 1990 Gedung YPK direnovasi dengan dana dari Pemda Jabar dan Pemda Bandung.

Kini, YPK masih berdiri sebagai salah satu gedung warisan budaya (heritage). Pengelola YPK, Lenny Mulyawati mengatakan, kegiatan YPK yang paling dominan saat ini adalah seni lukis dan tari jaipongan, kawih, dan pencak silat. Tanggal 22 Oktober mendatang, perupa Tisna Sanjaya akan menggelar pameran lukisan di gedung bersejarah ini. Lenny menambahkan, usia gedung sebenarnya jauh lebih tua dari usia yayasan. Kalau gedungnya sih tahun 1800-an sudah ada, katanya kepada merdeka.com, Minggu (18/10).

Kredit

Bagikan